Minggu, 25 Juni 2017

Mevrouw Ida (bag. 3)

Unknown
3
Semuanya serba baru...


Matahari perlahan-lahan mulai menenggelamkan diri di kaki langit ketika kami menaiki auto[1] yang akan membawa kami ke stasiun kereta api. Hanya adik laki-laki tertuaku yang ikut mengantar. Papa sebenarnya mau mengantar sampai ke Genoa, tetapi ia kuatir dengan kesehatan Mama. Mama kurang sehat.

Auto mulai bergerak perlahan meninggalkan pekarangan rumahku. Aku melambaikan tangan sekali lagi kepada keluarga, sahabat-sahabat dan beberapa tetangga yang melepaskan kepergian kami. Masih sempat kulihat Papa melambaikan tangan kanannya sambil tangan kirinya merangkul Mama. Mama terus melambaikan tangan, dan sesekali mengusap airmatanya. Adik-adikku juga melambaikan tangan. Sahabat-sahabatku juga. Tetanggaku juga. Semuanya melambaikan tangan, menambah beratnya perpisahan sore ini.

            Selamat tinggal kalian semua, aku akan kembali enam tahun lagi, saat cuti pertama Anton. Dan aku akan menggendong cucu kalian, Papa, Mama ketika memasuki pekarangan ini lagi nanti. Kalian adik-adikku, kalian akan menjadi paman dari keponakan-keponakan kalian nanti.... Dan para sahabatku, kita akan bertemu sebagai Nyonya-nyonya  nantinya, saat kalian semua juga sudah berkeluarga. Nanti, ya, nanti, enam tahun lagi. Begitu aku berharap, tetapi semua tergantung sang waktu, karena masa yang akan datang adalah misteri bagi manusia sampai sang manusia menjalaninya....  

            Mereka semakin menjauh. Ketika tak dapat lagi kulihat mereka, aku mengalihkan pandang ke sisi kiri jalan. Auto berjalan lambat, seakan sang supir mengerti beratnya perpisahan ini. Anton mendekapku dan kubenamkan kepalaku dalam rangkulannya. Adikku duduk di samping sopir. Auto terus bergerak, menuju stasiun Kereta Api “Maas” di Rotterdam.

            “Enam tahun lagi kita akan kembali ke sini, Lieve[2]”. Anton mencium ubun-ubunku.

            “Iya sayang, bersama anak-anak kita”. Aku masih menenggelamkan kepalaku dalam rangkulannya.

Ketika auto telah sampai di stasiun, kami segera turun. Sekarang giliran sahabat-sahabat Anton di sekolah misi yang mengucapkan salam perpisahan. Sebagian dari mereka juga sedang bersiap-siap berangkat ke daerah misi yang berbeda dengan Anton. Beberapa pengurus lembaga misi yang mengutus Anton juga datang.

            “Selamat menempuh perjalanan, Tuan Anton. Anda akan senang berada di sana, Mevrouw Ida. Tuan Anton akan menjadi suami yang baik, bukan begitu Tuan?” Tuan Beekenkamp menyapa kami. Anton hanya tersenyum. Tuan Beekenkamp adalah Pendeta sekaligus sekretaris Gereformeerde Zendingsbond (GZB), badan misi yaang mengutus kami.

            “Terima kasih Tuan”.

            “Kami sudah mengirim surat ke sana. Kalau perjalanan lancar, kalian akan tiba di sana awal Oktober. Tuan dan Nyonya Adriani akan menjemput kalian di Batavia. Dia akan mengatur perjalanan kalian selanjutnya”.

            “Terima kasih Tuan”

            “Semoga Tuhan memberkati kalian berdua, dengan limpah dan rahmat. Sering-seringlah menulis surat”. Tuan Beekenkamp mengucapkan salam perpisahan sambil menjabat tangan kami, ketika kereta akan segera berangkat.

            “Terima kasih Tuan”.

Semua penumpang mulai naik ke kereta. Kami berpamitan dengan teman-teman Anton. Setelah Anton menunjukkan kaartjis pada petugas stasiun, kami bertiga menuju salah satu gerbong. Barang-barang kami telah diangkut ke kereta. Kami memilih salah satu tempat duduk di antara deretena tempat duduk dalam gerbong. Aku duduk di tepi jendela. Anton di sebelahku, dan di sebelahnya lagi, adikku.

Kereta api mulai bergerak menuju. Asap mengepul ke udara dari pipa gerbong. Ular besi yang panjang ini adalah salah satu keajaiban otak manusia modern. Sebentar lagi akan menjadi kendaraan yang umum di seluruh dunia, pikirku.

Sebuah perjalanan panjang baru saja aku mulai. Sekali lagi mataku terus terpaku ke luar jendela. Aku ingin menyampaikan salam perpisahan pada Rotterdam. Anton, yang seakan paham yang aku rasakan hanya mendekapku dan tidak banyak bicara. Aku, bagaikan seekor kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong. Rotterdam adalah kepompongku selama ini. Aku meninggalkan semua kenyamanan rumah, anak perempuan satu-satunya di keluarga berada, menuju tempat yang sangat jauh, beda bangsa, beda budaya. Dag Rotterdam.

“Pemerintah Hindia-Belanda di sana telah memberikan jaminan keamanan kepada para misionaris”, begitu kata Anton ketika Mama bertanya tentang keamanan di sana. Ia berhasil meyakinkan orangtuaku, terutama Mama yang selalu mengkhawatirkanku.

Setelah meninggalkan Rotterdam, kami melewati begitu banyak daerah. Kami menyusuri Sungai Rhine yang indah, deretan pegunungan, lembah, kebun anggur. Kami singgah di Heidelberg untuk melewatkan hari Minggu terakhir kami di Eropa. Tetapi kami tidak dapat mengikuti ibadah Minggu karena sulit menemukan gereja di sini. Orang-orangnya sebagian besar sudah tidak percaya lagi kepada Tuhan.

Dari Heidelberg kami melanjutkan dengan kereta yang menuju Genoa, Italia. Ketika melewati Swiss, aku takjub dengan keindahan yang silih berganti di sepanjang jalan. Kami melihat kawasan salju abadi dan padang rumput tempat sapi-sapi merumput di lereng Pegunungan Alpin yang terkenal itu. Kami juga melewati banyak sekali terowongan kereta api di atas perbukitan yang sangat panjang dan berkelok-kelok.

Kami tiba di Genoa sore hari. Dari sini, besok sore kami akan naik kapal ke Batavia.

Kami menyewa dua kamar di sebuah penginapan, satu untuk aku dan Anton, dan satu untuk adikku. Setelah makan malam, kami bertiga mengobrol sebentar sebelum akhirnya masing-masing jatuh tertidur karena perjalanan yang melelahkan.

Keesokan harinya, kami masih sempat jalan-jalan di sekitar kota Genoa sebelum naik kapal yang akan membawa kami ke Batavia. Kota ini unik, dengan bangunan-bangunan eksotik. Tapi sayangnya kebersihan tidak terlalu diperhatikan.

Sore hari, kami menuju pelabuhan. Sebuah kapal besar yang sedang bersandar tampak mulai ramai dengan orang-orang yang naik ke atasnya. Dua tiang besar menjulang di depan dan belakang kapal. Di antara kedua tiang itu, berdiri cerobong asap yang berasal batu bara di ruang mesin kapal. Geladak kapal ramai oleh orang yang akan berangkat dan keluarga yang mengantar mereka. Pada salah satu bagian di dinding kapal tertulis “VONDEL”. Inilah kapal yang akan membawa kami ke Batavia. Kepala awak kapal menyambut kami dengan sopan. Ia menugaskan seorang anak buahnya untuk mengantar kami ke kabin. Adikku menunggu di geladak.

Aku memperhatikan awak yang mengantar kami; ia berbaju putih dan tanpa alas kaki. Ia bukan orang Eropa, rambutnya hitam dicukur pendek, badannya pendek, hidungnya pesek dan kulitnya kecoklatan. Aku memperkirakan dia orang dari Hindia-Belanda. Ciri-ciri fisiknya mirip orang-orang Jawa dan Melayu yang tersebar di Leiden, Rotterdam, dan beberapa daerah di Nederland.

“Ini kamar Tuan dan Nyonya. Silahkan Tuan, silahkan Mevrouw”

“Terima kasih”

Setelah meletakkan barang-barang, kami kembali ke geladak untuk menemui adikku. Bel kapal berbunyi sebagai tanda penggilan makan siang. Kami bertiga menuju ruang makan kapal dan bergabung dengan salah satu kelompok penumpang di sebuah meja makan yang cukup besar. Kami mulai mendapatkan kenalan-kenalan baru dari meja makan ini, sekaligus kesulitan baru: bahasa. Ada yang menggunakan bahasa Jerman, Prancis, Inggris, dan lain sebagainya. Kami hanya mengerti sepotong-sepotong.

            Sekelompok pelayan yang berpakaian rapi menyediakan peralatan makan. Aku perhatikan mereka, ciri-ciri fisiknya menunjukkan mereka orang dari Hindia.

            “Orang-orang Jawa”. Anton berbisik padaku seakan tahu apa yang aku pikirkan.

            Sekelompok lagi menyediakan hidangan. Setelah semuanya siap, mereka mundur beberapa langkah di belakang para penumpang kapal, menunggu perintah.

            Dari semua yang ada di meja makan itu, hanya kami yang mengucapkan terima kasih setiap kali mereka selesai melayani kami. Anton memimpin kami bertiga untuk berdoa makan. Ya, hanya kami bertiga yang berdoa. Para penumpang yang lain menatap kami dengan tatapan aneh. Eropa memang sedang dilanda keangkuhan sejak virus Aufklarung menyebar kemana-mana. Virus yang membuat orang beragama seakan-akan adalah orang-orang kolot.

            Waktu makan siang telah selesai. Kami menuju geladak. Kapal sepertinya akan segera berangkat. Para pengantar diberitahukan agar segera turun. Rasa haru mulai menyerang aku lagi, membayangkan daratan Eropa sebentar lagi kami tinggalkan. Air mataku kembali jatuh ketika aku memeluk adikku. Ia juga meneteskan air mata. Berat baginya untuk melepas kakaknya, saudara perempuan satu-satunya untuk berlayar ke negeri seberang. Anton yang terlihat tegar sejak dari Rotterdam pun tak kuasa menahan air matanya ketika kapal mulai bergerak meninggalkan pelabuhan. Aku dan Anton melambaikan tangan pada adikku. Ia berdiri di tepi dermaga, melambaikan tangan. Dag adikku, dag Eropa.....

Ketika daratan semakin menjauh dan pelabuhan tak tampak lagi, kami masih berdiri di geladak. Semua seperti mimpi. Kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong ini baru belajar untuk menguatkan sayap rapuhnya untuk terbang ke tempat-tempat yang baru. Aku memeluk Anton dan ia mencium ubun-ubunku. 

*********


15 September 1913

Setelah berhari-hari di tengah laut, kapal akhirnya merapat di Port Said. Dalam pelayaran, kami sempat melihat keindahan Gunung Stromboli yang terus menerus mengeluarkan larva dari kawahnya. Kami juga telah melewati Selat Messina[3]. Menurut Anton, Messina adalah salah satu tempat yang penting bagi orang Islam selain Mekkah. Ai..ai.. aku telah melewati lautan tempat kapal yang ditumpangi Rasul Paulus karam. Momen itu kami manfaatkan untuk membahas panjang lebar Rasul mulia itu, rasul penjelajah lautan.

Kami juga melewati bagian Selatan Pulau Kreta yang tandus pada hari Minggu.

“Pulau ini sekarang dihuni oleh setengah orang-orang Yunani yang Kristen dan setengah orang-orang Turki yang Islam. Ketegangan terus menerus terjadi di sana. Inggris juga ikut campur. Bagaimanapun, Inggris punya kepentingan dengan pulau itu”.

Anton memang banyak tahu. Dia orang yang serius belajar. Waktu-waktu luang di kapal ia gunakan untuk membaca dan menulis surat untuk GZB. Dalam suratnya, ia mencatat hal-hal penting di pelayaran. Di Port Said, surat itu akan diposkan ke Nederland. Ia juga orang yang pandai bergaul. Hanya dalam beberapa jam di atas kapal, ia telah akrab dengan kapten kapal. Ini tentu memudahkan aktivitas kami di atas kapal. Atas izin kapten kapal, kami berdiskusi dan beribadah singkat dengan serdadu-serdadu Belanda yang di kirim ke Hindia. Kapten kapal bahkan meminta Anton, untuk memimpin ibadah Minggu di kapal sepanjang pelayaran sampai ke Batavia nanti. Anton menyanggupi. Kami juga selalu mempunyai waktu untuk berdua. Kami membahas Firman Tuhan setiap malam sebelum tidur. Kalau cuaca cukup baik, kami jalan-jalan di geladak.  

Jarum horloge[4] menunjukkan jam 11 malam. Port Said adalah pelabuhan pertama yang kami singgahi. Kapal akan mengisi pasokan batu bara dan beberapa muatan yang perlu. Banyak sekali perahu dayung yang dikemudikan oleh orang-orang Arab merapat ke kapal untuk menjemput penumpang yang akan turun. Semua penumpang turun dari kapal, tidak tahan dengan debu hitam yang beterbangan ke atas kapal dari batu bara yang sedang dimuat di lambung kapal.

Kami menaiki salah satu perahu dayung kecil tersebut bersama beberapa orang. Seorang Arab nampak lincah mendayung perahu itu ke tepi dermaga. Dari lentera perahu aku dapat melihat dia dengan jelas. Rambutnya keriting, badannya tinggi besar dan kulitnya hitam. Ia mengenakan jubah putih, pakaian khas orang-orang Arab. Kami naik ke darat setelah Anton membayar ongkos perahu 60 sen untuk kami berdua. Hop... dengan sekali lompatan kecil, kami menginjakkan kaki di tanah Arab! Kupu-kupu ini sekarang tidak hanya terbang berputar di pekarangan Eropa, tetapi telah menyeberang jauh dan akan lebih jauh lagi.

Kami diserbu oleh banyak orang dengan macam-macam tawaran: dagangan, tenaga pemandu, penginapan,dan lain-lain.

            “Nee, nee...”[5]. Anton dan aku berkali-kali mengucapkan penolakan karena mereka seakan memaksa. Dalam bahasa Belanda tentunya, sekalipun mereka mungkin tidak paham. Aku dan Anton sama-sama tidak tahu sedikitpun bahasa Arab.

Mereka masih terus mengikuti untuk beberapa lama. Satu-per-satu mulai beralih ke penumpang lain yang baru tiba setelah kami sama sekali tidak merespon. Sungguh lain tabiat orang di sini. Tidak pernah kami temui yang seperti ini di Nederland. Rencana untuk mengunjungi kampung Arab kami batalkan. Anton mem-pos-kan suratnya melalui jasa pos di pelabuhan. Setelah bosan mengelilingi pertokoan di sekitar pelabuhan, kami mencari tempat duduk di sebuah kafe sekedar untuk berisitirahat.

            Seorang laki-laki Arab lainnya mendekati kami. Ia membawa beberapa benda di tangannya. Anton mulai gusar. Bahkan sampai di kafe pun masih ada yang mengikuti!! Aku sudah mempersiapkan bahasa isyarat untuk menolaknya. Tapi...

            “Lihat, lihatlah ini”. Ia berbahasa Belanda sambil menggerakkan sebuah kain di tangannya. Ternyata ia pesulap. Aku dan Anton berpandangan.

            “Tuan bisa bahasa Belanda?” Anton bertanya.

            “Sedikit Tuan”. Ia masih bergerak-gerak memainkan trik-trik sulap. Kain di tangannya tiba-tiba hilang dan dengan jentikkan jari ia sudah memegang setangkai mawar.

            “Hebat bukan?”. Sepertinya ia fasih bahasa Belanda.

            “Tuan dan Nyonya mau kemana? Hindia?”. Ia mencoba menebak. Anton mengangguk. Tentu ia dapat menebak dengan tepat karena mengetahui kami orang Nederland. Setiap orang Nederland yang lewat sini sudah hampir bisa dipastikan tujuannya adalah Hindia. Lain dengan bangsa Eropa lainnya. Orang Prancis yang singgah di sini pasti akan ke Madagascar, orang Inggris akan ke India atau Australia atau Singapura atau.... “Milik” Inggris memang paling luas. Dunia telah dibagi-bagi oleh dan untuk Eropa.

            “Ada urusan apa Tuan? Tuan pejabat? Saudagar? Ingenieur[6]?”

            Hampir saja aku menjawab bahwa kami misionaris kalau saja Anton tidak menatap aku dengan isyarat untuk tidak mengatakan apa-apa. Orang-orang Arab pada umumnya tidak menyukai orang Eropa. Dampak Perang Salib.

Melihat kami tidak menjawab, ia terus berceloteh.

            “Berhati-hatilah di Hindia. Jangan pikir orang-orang di sana senang dengan kalian, orang Nederland. Tampaknya saja mereka patuh, tetapi sekali mereka melawan, nyawa pun mereka korbankan”.

Siapa orang ini? Dia sepertinya banyak tahu tentang Hindia-Belanda. Aku membatin.

            “Mereka orang-orang yang patuh pada pemimpinnya, kepada para raja dan para pangerannya. Kalau sampai sekarang, kalian orang Belanda masih berkuasa di sana, itu karena para pemimpinnya telah kalian pegang. Tuan dan Nyonya pasti pernah dengar, bagaimana seorang Pangeran di Jawa menggerakkan rakyatnya untuk melawan karena pemerintah telah merampas tanah-tanah mereka. Bahkan di daerah yang tak jauh dari Jawa, seorang Raja dengan gagah berani mempersenjatai mulai dari rakyatnya sampai anak-istrinya untuk bertarung sampai mati menghadapi tentara kalian yang datang dengan bedil dan meriam”.

Aku semakin penasaran. Ia tahu tentang banyak tentang Hindia. Anton juga tentu sudah tahu semua itu. Hampir semua orang yang pernah memasuki dunia kampus di Nederland sedikit banyak pernah dengar tentang sejarah Hindia. Tapi orang ini, siapa orang ini?

            “Sepertinya Tuan tahu banyak tentang Hindia?”. Anton menimpali.

            “Tujuan Tuan dan Nyonya mau kemana di Hindia?”.

            “Celebes”, Anton menjawab seadanya.

            “Ujung selatan pulau itu adalah daerah pelabuhan yang ramai. Sebuah kerajaan yang sangat kuat pernah berdiri di situ. Tapi ditaklukkan oleh orang Belanda setelah melalui adu domba dan pertumpahan darah”. Ia memandang kami dengan pandangan mencibir.

Aku mulai merasa tidak nyaman, demikian juga dengan Anton. Mungkin orang ini berpikir Anton adalah salah satu controleur yang dikirim ke sana.

“Sebentar lagi, Hindia-Belanda akan jadi rebutan. Jangan pikir hanya Eropa yang bisa perang pakai mesiu, pesawat dan bom. Di seberang Eropa, kekuatan baru sedang bangkit Tuan. Amerika Tuan, Amerika Serikat, Mevrouw!. Bahkan dari Asia pun bangsa Nippon telah mulai berani menantang Eropa. Di seberang Nippon, bangsa raksasa sedang menggeliat bangun. China, Tuan, Mevrouw. Hindia-Belanda akan jadi rebutan. Aku tidak yakin Nederland akan mampu mempertahankanya”. Ia kembali melempar tatapan sinis kepada kami.

Aku dan Anton sudah tidak dapat menahan diri untuk segera meninggalkan orang ini sebelum ia semakin merendahkan Nederland.

            “Kapal kami sepertinya akan segera berangkat. Kami harus kembali ke kapal”.

Anton memberikan beberapa sen kepadanya dan kami beranjak meninggalkannya.

“Semoga perjalanan Tuan dan Nyonya menyenangkan”. Ia mengikuti kami dengan pandangan mata.

“Dia banyak tahu tentang Hindia. Siapa orang itu?”. Aku seperti bergumam pada diriku sendiri ketika kami sudah agak jauh.

“Entahlah. Memang banyak orang Arab yang tinggal di Hindia, terutama daerah pelabuhan dan kota-kota besar. Pada umumnya pedagang. Mungkin dia salah satu pedagang yang bangkrut. Ada begitu banyak kemungkinan, sayang. Yang pastinya dia pernah lama di Hindia. Bahasa Belanda yang ia gunakan dipelajarinya di sana”.

Tentu Anton mengetahuinya dari buku-buku atau catatan-catatan tentang Hindia. Dia pun belum pernah ke sana. Tapi ia mampu menjelaskan beberapa daerah seakan-akan ia pernah mengunjunginya. Hebat kau Anton, suamiku.... Aku memujinya dalam hati. 

Dari Port Said, kapal kembali berlayar. Petualangan panjang di lautan dimulai lagi. Kami melewati Terusan Suez selama 15 jam. Terusan Suez dulunya adalah daratan yang digali untuk menjadi jalur pelayaran yang mempersingkat pelayaran dari Eropa ke Asia. Walaupun ukurannya tidak terlalu luas, tapi orang dapat menggali daratan sepanjang itu? Hebat. Setelah berhenti sebentar di ujung Terusan Suez untuk menaikkan penumpang, kami memasuki Teluk Suez yang sempit. Daratan di kiri dan kanan dapat terlihat. Teluk inilah tempat Musa memimpin bangsa Israel menyeberang menuju Kanaan. Teluk ini pula yang menenggelamkan bala tentara Fira’un. Tuhan Mahakuasa....

Dari Terusan Suez, kami memasuki Laut Merah. Sejak beberapa jam yang lalu, udara mulai terasa panas. Hampir semua penumpang mengganti pakaian Eropa mereka yang tebal dengan pakaian yang lebih tipis. Kami juga mengganti pakaian kami. Mama telah menjahitkan beberapa pakaian iklim tropis untuk aku dan Anton.

Kami melewati selat Bab-el-Mandeb yang sempit, lalu Teluk Aden seharian penuh, melewati Teluk Guardefui dan memasuki Samudera Hindia yang agak bergelombang. Berkali-kali kapal bergoncang-goncang dan kami mabuk laut.

Kami tiba di Colombo tanggal 27 September, pagi hari. Kapal akan berhenti cukup lama, paling kurang setengah hari agar penumpang dapat bersantai di daratan setelah perjalanan panjang. Colombo adalah salah satu daerah yang berada di ujung semenanjung Ceylon[7], wilayah kekuasaan Inggris.

Dengan rickhsaw[8],  kami berkeliling Colombo. Kami mengunjungi perkampungan Eropa yang tertata rapi, Pura Hindu dan sebuah Patung Buddha yang besar. Di salah satu sudut kota, terdapat sebuah gereja tua, Gereja Protestan belanda yang dibangun tahun 1749. Ceylon memang pernah menjadi “milik” orang Nederland. Dalam keadaan begini, kami lebih mirip pelancong yang sedang berbulan madu daripada sepasang misionaris. Kami mengunjungi beberapa tempat yang dipengaruhi budaya India. Semua serba asing bagi kami. Setelah dirasa cukup, kami kembali ke kapal.

Dari Colombo kapal menempuh pelayaran yang cukup panjang sampai akhirnya memasuki perairan Hindia-Belanda. Aku merasa sangat senang ketika kapal berlabuh di Pelabuhan Sabang milik Hindia-Belanda. Aku bisa melihat bendera tiga warna negara kami berkibar di pelabuhan: merah-putih-biru. Aku bangga....

“Selamat datang di Hindia-Belanda, sayang”. Anton menyapaku seakan-akan ia sudah pernah ke sini. Aku tersenyum dan merangkul suamiku.

“Mantan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang lalu telah berjasa membangun pelabuhan ini. Van Heutsz namanya, pernahkah kau mendengarnya, Lieve[9]?”

Aku mengangguk.

Dia memang cukup terkenal di Nederland. Banyak orang memujinya karena berhasil memperkuat kedudukan Nederland di sini dan memadamkan pemberontakan-pemberontakan besar selama kepemimpinannya. Salah satunya adalah pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh, daerah yang tidak terlalu jauh dari Sabang. Tetapi, tidak sedikit juga yang mencela van Heutsz. Orang-orang Nederland yang sinis padanya akan menjuluki dia sebagai pembantai.

“Beberapa tahun lalu bangsa Nippon menuntut pulau ini bersama pelabuhannya. Tentu saja Tuan van Heutz menolak”.

Kapal akan mengisi batu bara dan berbagai kegiatan bongkar muat lainnya. Kami gunakan kesempatan ini untuk berjalan-jalan di sekitar daerah tersebut. Inilah daratan Hindia-Belanda yang pertama aku jejaki. Kami mengunjungi sebuah danau, menikmati kelapa muda dan bersantai-santai di dermaga ketika sore hari. Kami juga sempat menyusuri warung-warung milik orang-orang China dan inlander[10]. Bahasa yang mereka gunakan pada umumnya adalah bahasa Melayu. Anton telah sedikit paham, karena ia telah mempelajarinya sebelum ke sini. Aku sama sekali tidak paham.

Kapal kembali berlayar malam hari. Dari Sabang, kapal sempat singgah sesaat di Singapura untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Pelabuhan ini lebih ramai dari Sabang dan berada di bawah kekuasaan Inggris.

“Dulunya, Singapura adalah tanah tak bertuan. Pelaut-pelaut Bugis yang pertama membuka perkampungan di sini. Letaknya yang strategis untuk pelayaran membuat pulau ini semakin ramai”.

Dari Singapura, kami menuju Batavia.

Di kapal, aku kembali bersyukur kepada Tuhan. Aku dan suamiku sekarang berlayar di antara pulau-pulau “milik” Kerajaan Nederland, jauh dari Nederland. Luas Nederland tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Hindia-Belanda. Bahkan jika seluruh daratan Nederland dipindahkan ke sini, maka ia hanya setitik pulau saja di tengah pulau-pulau raksasa Hindia-Belanda. Anton menjelaskan, bahwa di sisi kanan kapal kami terdapat pulau Sumatera yang luar biasa panjangnya. Di sisi kiri terdapat pulau Borneo yang luar biasa besarnya. Pulau Celebes di sebelah Pulau Borneo.

Tuhan memang baik kepada kami, bangsa Nederland. Dengan wilayah Hindia-Belanda yang seluas ini, setidaknya raksasa-raksasa Eropa tidak boleh memandang sebelah mata bangsa Nederland. Memang Nederland kecil di Eropa apalagi dibandingkan dengan Jerman, Prancis dan Inggris, tapi kami punya Hindia-Belanda yang maha luas.

Kapal akhirnya memasuki perairan Batavia tanggal 4 Oktober. Sebulan penuh kami berpetualang dari Rotterdam sampai di sini! Ah, bagaimana aku menggambarkan perasaanku saat ini...

Semua serba baru di perjalanan, dan masih akan banyak hal baru ke depannya.
Aku dan Anton berdoa bersama ketika pelabuhan Tanjung Priok semakin tampak. Tuhan Mahabaik....



[1] mobil
[2] Jantung hatiku
[3] Medinah
[4] Arloji
[5] Tidak
[6] insinyur
[7] Sekarang Sri Langka
[8] Becak yang ditarik orang
[9] Jantung hatiku
[10] Pribumi

0 komentar:

Posting Komentar

postingan populer :