Kamis, 15 Juni 2017

Mevrou Ida (bag. 2)

Unknown
2
Kisahku aku mulai dari sini....

Rotterdam, Negeri Belanda, tahun 1913.

****

Beberapa teman kuliah telah menungguku di depan sebuah ruangan kampus. Aku menyapa mereka dan untuk beberapa saat kami terlibat obrolan ringan. Hari ini kami semua datang ke kampus khusus untuk mengikuti kuliah umum dari seorang lulusan sekolah misi. Calon misionaris seberang lautan.


“Mengunjungi Hindia-belanda adalah impianku sejak dulu. Andai saja ada pemilik perkebunan di Hindia melamarku, tak kan ku tolak”.

“Aku telah melihat banyak sekali foto dari sana, bahkan aku telah melihat beberapa lukisan mooi Indie, wow, sangat menarik

Aku hanya menyimak dan sesekali menimpali dengan senyuman dan tawa kecil. Memang benar, Hindia-Belanda juga adalah negeri kami, tepatnya negeri “milik” kami yang lain. Walaupun bukan tempat nenek-moyang bangsa Belanda berasal, tetapi Hindia-Belanda berada di bawah pemerintahan Yang Mulia Ratu. Orang Belanda telah berada di sana sejak melakukan ekspedisi perdagangan. Mereka telah menguasai perdagangan di sana melalui kongsi dagang VOC, yang mungkin merupakan perusahaan dagang terbesar milik bangsa Belanda yang pernah ada. Bagaimana tidak, mereka memiliki angkatan perang sendiri, kapal-kapal dagang, sistem administrasi yang rapi yang mirip dengan sistem pemerintahan sebuah negara. Wilayah kekuasaan dagang mereka sangat luas. Negeri Belanda sendiri terlalu kecil di banding wilayah kekuasaan dagang mereka. Dan semua itu terjadi di sana, di seberang lautan, sejak beberapa ratus rahun lalu. Tetapi sayang kongsi dagang ini akhirnya bangkrut. Inggris menguasai Hindia-Belanda sampai Yang Mulia Ratu mengambil-alih kembali. Begitulah sekilas yang aku tahu tentang negeri “milik” kami di seberang lautan itu. Negeri penuh misteri, negeri 1001 kisah, penuh inspirasi tetapi belum maju. Begitu yang sering aku dengar.

Obrolan kami terputus ketika seorang muda yang wajahnya asing bagi kami sedang bercakap-cakap bersama beberapa orang sambil berjalan ke pintu masuk ruangan. Inilah orangnya, pikirku. Kami segera memasuki ruangan, dan mengambil posisi duduk paling depan. Ini adalah kesempatan untuk mendengar orang ini untuk menceritakan tentang negeri Yang Mulia Ratu di seberang lautan. Aku yakin orang ini belum tentu pernah ke sana, tetapi setidaknya ia tahu banyak tentang negeri itu. Ia pasti mengumpulkan informasi sebagai bekal sebelum menuju ke sana sebagai seorang misionaris.

Kumisnya lebat,  namun dicukur rapi dan tumbuh bersambungan dengan jenggotnya sehingga kedua bibirnya tampak terkepung oleh bulu-bulu hitam tersebut. Badannya tegap, dan dari pancaran wajahnya menandakan bahwa ia adalah seorang pemuda yang serius. Aku membayangkan bahwa kuliah ini akan menjadi membosankan.  

            Ia memulai kuliahnya.....

“Saudara-saudara sekalian, terima kasih untuk kesempatan  yang diberikan bagi saya untuk menyampaikan kuliah umum. Perkenalkan, nama saya Antonie Aris van de Loosdrecht, lulusan Fakultas Teologi Heidelberg...”

Ia berhenti beberapa saat sambil mengedarkan pandangan, mungkin mengumpulkan bahan yang ada di kepalanya yang akan dia sampaikan....

“saya baru saja lulus dari sekolah misi dan akan menjadi misionaris untuk orang-orang yang berada di seberang lautan. Toraja, demikian nama suku tersebut. Mereka adalah orang-orang yang hidup di hutan-hutan, di pegunungan dan masih primitif. Mereka masih dikuasai oleh kegelapan. Perbudakan, saling membunuh, bahkan memperdagangkan sesamanya sendiri. Mereka membutuhkan Kristus, mereka membutuhkan cahaya Injil dan untuk itulah aku terpanggil untuk menunaikan misi suci ini...”

Ia meneruskan kuliahnya yang lebih mirip pidato tersebut dengan menjelaskan tentang ladang misi tersebut. Ia tampak semakin bersemangat, dan di luar dugaanku ia adalah seorang yang sangat pandai berpidato. Ia membawa kami, paling tidak aku, memasuki imajinasi sebuah kehidupan liar di belantara pegunungan. Pada sebuah etnis yang hidup di pegunungan Pulau Celebes.

Aku begitu terpesona dengan apa yang ia sampaikan. Bagaimana bisa, di zaman ini masih ada orang-orang yang hidup liar di hutan, di pegunungan, menjual sesamanya, berburu kepala, bla...bla...bla... Selesai kuliah, aku mengajak teman-teman untuk mengobrol dengan pemuda tersebut.

            Ketertarikanku pada kuliah yang ia berikan dan ketertarikannya pada ketertarikanku atas kuliah umum yang ia sampaikan membuat kami saling berkirim surat sesudah hari itu. Bahkan Anton, demikian pada akhirnya aku memanggilnya, sekali-sekali datang berkunjung ke rumahku. Lama kelamaan aku semakin sadar bahwa pertemanan kami yang singkat itu telah menumbuhkan ketertarikan yang lebih dalam lagi.

Cinta.

Ya, aku dan Anton sama-sama jatuh cinta. Cinta kami saling bersambut di hati kami masing-masing: aku dan Anton. Hingga dalam sebuah pertemuan kami berikutnya, Anton mengutarakan niatnya secara terang-terangan: Anton ingin menikahiku. Ah, sang waktu memang telah menyediakan tempat-tempat tertentu dimana manusia mencapai kebahagiaan bersama. Semua indah pada waktunya, demikian kata Kitab Suci. Semua itu terjadi hanya beberapa bulan setelah pertemuan pertama kami di kampusku.

            Tetapi bagaimana aku hendak menyampaikan ini kepada keluargaku, terutama kedua orang-tuaku? Bahwa seorang misionaris yang tidak lama lagi akan berangkat ke Hindia-Belanda ingin menikahiku? Apakah mereka akan menerimanya dengan kosekuensi aku akan ikut berlayar ke negeri seberang lautan? Telah menjadi hal yang umum di sini bahwa jika seorang wanita menikah, maka ia harus mengikuti suaminya. Tetapi dengan Anton? Itu berarti aku harus mengikutinya ke seberang lautan, jauh dari keluarga. Aku memang sangat ingin ke Hindia-Belanda, dan hampir semua orang yang ada di sini ingin ke sana mencari penghidupan yang lebih baik. Perang di hampir seluruh daratan Eropa telah menyebabkan kegoncangan yang sangat dahsyat, menyebabkan krisis terjadi di daratan Eropa ini, tidak terkecuali Belanda. Bahkan, aku pernah mendengar ungkapan sinis yang mengatakan bahwa istana Yang Mulia Ratu terapung di atas ratusan juta gulden kekayaan yang diangkut dari Hindia-Belanda melalui Culturstelstel beberapa waktu yang lalu. Entah benar atau tidak, aku tidak pernah mencari tahu. Mungkin saja itu hanyalah anggapan kelompok tertentu yang memang terlalu sering mengkritik pemerintah belakangan ini. Lagipula, keinginanku ke sana tidak semata-mata untuk itu. Keluargaku sudah cukup terpandang dan mapan untuk kehidupan kami dan karena itulah aku ragu apakah mereka akan merestui keinginan Anton itu.

Aku bimbang...

            Tetapi Anton telah menunjukkan keseriusannya yang luar biasa....

            Seperti biasa, malam itu keluarga kami makan malam bersama. Papa, Mama, aku, dan keempat adikku duduk mengitari meja makan. Setelah Papa memimpin doa makan, kami mulai menyantap makanan, dengan sedikit obrolan yang tidak penting sampai makan malam selesai. Ketika aku hendak beranjak dari meja makan, Mama menahanku.

“Jangan beranjak dulu sayang, ada hal penting yang Papa dan Mama mau sampaikan mengenai kamu. Duduklah kembali”.

Aku tertegun. Hal penting? Mengenai diriku? Aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa akan segera terjadi. Dan aku kembali duduk. Mama memandang kepada Papa dengan tatapan yang tidak biasa, penuh isyarat. Papa mendehem...

            “Ali, anakku, berapa usiamu sekarang nak?” Pertanyaan Papa menambah teka-teki di meja makan ini. Jelas ia tahu usiaku berapa, jelas bahwa ini hanyalah pertanyaan pembuka untuk ‘hal penting mengenai diriku’.

            “22 tahun Papa...” aku menjawab seadanya, mencoba memecahkan teka-teki yang sedang mereka mainkan. Kali ini giliran Papa yang memandang Mama. Mama mengangguk. Ada apa ini?

            “Begini Ali, anakku, Papa dan Mamamu berpikir usia kamu sudah cukup dewasa. Apakah kamu belum pernah berpikir tentang pendamping hidup?”. Papa menatap Mama lagi.

            Pendamping hidup? Jelaslah sudah, ini tentang pernikahanku. Sejumlah pertanyaan mulai menjalar dalam pikiranku. Apakah Papa dan Mama resah dengan hubunganku dengan Anton dan ingin memisahkanku? Papa punya banyak relasi bisnis. Pasti kedua orangtuaku hendak memperkenalkan salah satu anak laki-laki dari teman bisnis Papaku. Bagaimana aku akan menjelaskannya kepada mereka tentang keinginan Anton menikahiku? Aku membayangkan betapa kecewanya Anton ketika mengetahui aku akan ditunangkan dengan orang lain. Oh, Tuhan....

Aku terdiam.

Keempat adik laki-lakiku juga terdiam mendengarkan. Pembicaraan ini memang bukan hal yang biasa. Jarang terjadi, karena aku anak pertama dan di antara kami belum ada yang menikah.

            “Mengapa kamu diam anakku? Benar kata Papa, sudah waktunya untuk memikirkan masa depanmu. Dan sekarang seseorang telah menyampaikan niat itu pada Papa dan Mama lewat surat. Mana suratnya Pa?”

Semakin terang benderanglah sudah, seorang kenalan Papa telah melamar aku untuk dipersunting dengan anak laki-lakinya. Benar kata Mama, aku bisa saja menolak, tetapi tak dapat kubayangkan kekecewaan kedua orangtuaku jika itu kulakukan. Aku kini terjepit di antara Anton dan kedua orangtuaku.

            Papa bangkit dari duduknya, menuju meja kerjanya dan mengambil sebuah surat yang sudah 
keluar dari envelop, pertanda surat tersebut telah dibaca.

            “Bacalah sendiri nak”. Papa kembali duduk.

            Aku menerima lembaran surat itu dengan ragu-ragu. Tanganku gemetar. Tulisan ini, sepertinya aku kenal. Tapi gugup yang menguasaiku membuat aku tidak dapat berpikir dengan jernih, apalagi untuk mengingat tulisan milik siapa ini. “Tuan dan Nyonya yang terhormat...” aku langkahi isi surat itu dan langsung ke ujung surat. Aku penasaran, siapa kiranya kenalan Papa yang telah meminangku ini.

Di ujung surat kutemukan nama itu: Antonie Aris van de Loosdrecht.

Aku terperanjat setengah mati. Kuulang lagi untuk memastikan bahwaa aku tidak sedang berhalusinasi. Ya, jelas surat ini milik Anton. Tanpa sepengetahuanku ia telah menulis surat pada Papa dan Mamaku. Ku baca isi surat tersebut. Seperti yang telah Anton katakan, ia meminta restu dari orangtuaku untuk menikahiku. Ya ampun....

            Aku menatap Papa lalu Mama untuk menyelidiki wajah mereka. Apakah mereka menerima? Ataukah ini baru hanya pengantar untuk menyatakan bahwa aku tidak cocok dengannya?

            “Semua tergantung kamu Ali, anakku. Papa dan Mama sudah bicara dan kami akan menyerahkan keputusannya kepadamu. Jika kamu masih bimbang, silahkan berpikir-pikir dulu. Tetapi kalau tekadmu sudah bulat, undanglah Anton ke sini. Ia pemuda yang baik dan serius. Papa telah beberapa kali mengorbrol dengannya, kesan Papa, dia pemuda yang bertanggungjawab”. Papa berceramah panjang lebar dan Mama sesekali menimpali. Aku menangkap satu inti pembicaraan: Anton telah berhasil meyakinkan mereka.

Anton memang pandai merebut hati orang. Bukankah aku terpesona padanya karena pidatonya beberapa bulan lau? Mungkin dia pernah belajar retorika.... Entahlah. Tapi kenapa dia tidak bilang dulu ke aku kalau mau sampaikan langsung ke orangtuaku. Awas kau Anton.

            Begitulah...

Pernikahan kami berlangsung tanggal 17 Agustus 1913. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, hidupku berubah drastis. Rasanya baru kemarin aku melewati masa kanak-kanak dan tumbuh menjadi seorang remaja putri, kini aku dapati diriku telah menjadi seorang istri. Rasanya baru kemarin orang-orang memanggilku juffrouw[1], tetapi mulai sekarang orang akan memanggilku mevrouw. Rasanya baru kemarin... dan kini..., rasanya baru kemarin .... dan kini .... Terlalu banyak perubahan memang. Semua yang akan dilalui manusia di dalam waktu adalah sebuah misteri sampai sang manusia itu menjalaninya. Dan semua yang telah dilalui itu meninggalkan jejak yang hanya bisa dipandang dalam memori tanpa bisa kembali lagi ke sana. Apa yang telah aku lalui itu terlalu panjang untuk aku tuliskan...

Satu yang pasti: AKU BAHAGIA.

            Dengan status baru ini, isteri seorang calon misionaris yang akan segera berangkat ke wilayah misi, sejumlah kesibukan sebagai persiapan aku jalani. Aku mengikuti kursus kesehatan yang diadakan khusus untuk calon misionaris perempuan di rumah sakit kota Rotterdam. Pelajaran utamanya adalah membantu persalinan dan mempelajari penyakit-penyakit daerah tropis. Selain itu, aku juga kursus menjahit, mempelajari keadaan alam dan kebudayaan orang-orang Hindia-Belanda. Anton tak kalah sibuknya. Mempersiapkan bahan-bahan untuk keperluan misi, membereskan administrasi keberangkatan kami berdua, dan lain sebagainya.

Terhitung hampir sebulan sejak pernikahan kami, diiringi dengan peluk-cium dan airmata dari kedua orangtuaku dan adik-adikku, salam perpisahan dari beberapa sahabat karibku dan para tetangga, kami berangkat....

****************



[1] Juffrouw = Nona

0 komentar:

Posting Komentar

postingan populer :