Kamis, 15 Juni 2017

Mevrouw Ida (1)

Unknown
1
Solo, hari Minggu, 1919
*****
Jari-jariku terus bergerak di atas tuts berwarna hitam dan putih. Kakiku menginjak pedal dari sebuah piano yang terletak di sudut salah satu ruangan rumah sakit SF. WONOSARIE INLANDER HULPHOSPITAAL. Tuhan adalah gembalaku, takkan kekuranagan aku... aku terus memainkan piano sambil menyanyi dengan lirih. Air mata menetes dipipiku. Ia membaringkan aku, di padang yang berumput hijau... Perlahan-lahan, orang-orang yang hanya termangu menatapku mulai ikut bergabung dan mulai bernayanyi bersama. Paduan suara spontan terjadi Minggu pagi ini. Mereka adalah staf rumah sakit, para wanita inlander yang selama ini bekerja di rumah sakit.
Ya, setelah semua kepahitan dan penderitaan hidup yang membuatku putus asa, aku mengharapkan kekuatan ilahi untuk menguatkan aku menapaki jalan yang masih harus kulalui.
Namaku Alida Petronella van de Loosdrecht, tetapi orang biasa memanggilku Mevrouw Ida.[1] Nama gadisku Alida Petronella Sizoo. Sejak kecil aku dipanggil Ali oleh lingkungan keluargaku. “Sizoo” adalah nama keluarga kami, yang menjadi namaku sejak kelahiranku, pemberian kedua orang-tuaku. Nama “van de Loosdrecht” adalah nama dari suamiku, orang yang menjadi teman hidupku di negeri yang jauh dari tanah kelahiranku. Nama itu akan melekat sepanjang hidupku, bersama dengan memori bersamanya yang terus melekat dalam diriku.
Karena mereka semualah aku bernyanyi pagi ini. Orang-orang yang memiliki tempat-tempat terbesar dalam hatiku. Orang-orang yang aku sayangi. Dan juga untuk Boby, anakku, anak Anton, anak kami berdua. Begitulah, ketika luka yang satu belum terobati, luka yang lain susul menyusul.
Dan aku terus bernyanyi....

“Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku, di padang yang berumput hijau. Ia membimbing aku ke air yang tenang, ia menyegarkan jiwaku....”

************



[1] Mevrouw = Nyonya. 

0 komentar:

Posting Komentar

postingan populer :