Kamis, 01 Oktober 2015

Beberapa Penelitian dan Literatur Tentang Toraja

Unknown
Penelitian tentang Toraja secara umum telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti dengan latar-belakang dan perspektif yang beragam. Saya akan mengemukakan beberapa penelitian dengan membagi ke dalam dua bagian, yaitu literatur yang terkait dengan sosio-historis Toraja dan literatur tentang ritual pemakaman orang Toraja.

1.    Kajian Sosio-Historis Toraja

Sampai pada masa awal kolonialisme di Toraja, hampir tidak ada literatur kajian yang spesifik tentang Toraja. Berbeda dengan masyarakat pesisir, orang Toraja sangat kental dengan tradisi oral / lisan dan tidak mengenal tradisi tulisan. Referensi paling awal yang menjadi acuan tentang orang Toraja kebanyakan berasal dari sumber sekunder, yakni melalui tulisan-tulisan yang tersebar dalam tradisi lontara’ di kalangan masyarakat pesisir dan catatan-catatan para petualang Eropa (hampir tidak ada yang benar-benar sampai di Toraja). ‘Toraja’ adalah kata yang umum dipakai oleh orang pesisir untuk menyebut kelompok-kelompok masyarakat yang berada di pegunungan.

Orang Toraja mulai dikenal dalam kajian literatur modern melalui tulisan-tulisan misionaris Protestan yang bekerja di Poso, Sulawesi Tengah, Dr. A.C. Kruyt dan Dr. N. Adriani. Mereka mengelompokkan orang Toraja atas tiga kelompok, yaitu Toraja Barat, Toraja Timur dan Toraja Selatan.[1] Toraja Barat dan Toraja Timur adalah kelompok masyarakat yang terletak di pegunungan Sulawesi Tengah, sedangkan Toraja Selatan adalah kelompok masyarakat yang terletak di pegunungan Sulawesi Selatan. Jika melihat pada klasifikasi tersebut, apa yang disebut sebagai ‘orang Toraja’ identik dengan masyarakat pegunungan Sulawesi Tengah dan Selatan. Pertautan kepentingan antara kolonialisme dan misi yang sangat erat pada masa itu menjadi latar-belakang klasifikasi yang demikian, seperti yang diungkapkan oleh Th. van den End, kedua misionaris tersebut mengikhtiarkan penciptaan ‘blok’ Kristen yang mencakup seluruh daerah pegunungan Sulawesi, dari Teluk Tomini di utara sampai daerah Duri di selatan, dan dari Mamuju di sebelah barat sampai daerah Mori di Timur.[2] Masyarakat pegunungan yang umumnya masih memegang agama lokal adalah oposisi dari masyarakat pesisir yang sudah Islam, sedangkan ‘blok’ Kristen adalah proyeksi misi untuk membendung pengaruh Islam. Dari sisi pemerintah, Islam adalah momok bagi kekuasaan kolonial utamanya setelah Perang Aceh yang melelahkan dan menguras anggaran, sementara bagi misionaris, Islam adalah musuh ideologis kelas wahid. Sebagaimana lazimnya kolonialisme, motivasi religius dan politis bersifat setali-tiga-uang. Simplifikasi dalam klasifikasi Toraja mula-mula tersebut membuat proyeksi identitas Toraja tidak begitu kuat (tidak mengakar), dimana identitas tersebut hanya diterima dan dipakai oleh kelompok Toraja Selatan sejak 1930-an.

Kajian-kajian ilmiah tentang perkembangan sosio-historis orang Toraja semakin mengarah kepada kelompok Toraja Selatan, yang sekarang secara umum dikenal sebagai suku Toraja, yakni kelompok masyarakat pegunungan yang menetap di hulu sungai Sa’dan, Sulawesi Selatan. Kajian-kajian sosio-historis tersebut umumnya terbagi ke dalam tiga periodisasi historis, yaitu masa pra-kolonial, masa pendudukan Belanda dan masa kemerdekaan Indonesia (sampai sekarang).  Edwin de Jong dalam buku Making Living Between Crises and Ceremonies in Tana Toraja: The Practice of Everyday Life of a South Sulawesi Higland Community in Indonesia (Leiden: KITLV Press, 2013)[3], menguraikan kesinambungan periodisasi tersebut. Bentuk pengorganisasian masyarakat Toraja pra-kolonial ditandai utamanya dengan struktur kekerabatan berbasis tongkonan. Sama seperti diferensiasi hierarkhi sosial orang Toraja, tongkonan-tongkonan di beberapa daerah juga membentuk struktur yang hierarkhis yang pada umumnya berpusat pada tongkonan tertua di daerah tersebut. Selain itu, hierarkhi tongkonan juga terbentuk melalui peristiwa-peristiwa pada masa lalu, terutama perang-perang lokal dan jalur perkawinan lintas tongkonan, yang melahirkan konfederasi-konfederasi tongkonan. Pada masa tersebut, batas-batas geografis cenderung kabur oleh dinamika konfederasi dan aliansi yang terbentuk.  Bagi Roxana Waterson, sistem pengorganisasian sosial berbasis kekerabatan tongkonan (rumah) yang belaku di Toraja adalah tipikal masyarakat Austronesia.[4]

Situasi tersebut berubah secara drastis ketika kolonial Belanda membangun pemerintahan admnisitrasi berbasis batas-batas geografis. Toraja dimasukkan ke dalam Afdeling Luwu (berkedudukan di Palopo) dan membagi wilayah Toraja menjadi dua Onderafdeling: Makale dengan 14 distrik dan Rantepao dengan 17 distrik. Pembagian tersebut didasarkan pada perbedaan karakteristik wilayah selatan yang feodalisme-nya lebih tajam, sementara di utara cenderung lebih dinamis. Onderafdeling dikepalai oleh pejabat Eropa (utamanya Belanda) yang disebut Controleur, sedangkan yang menjadi kepala-kepala distrik berasal dari elit-elit lokal yang dipilih oleh pemerintah kolonial. Setelah 20 tahun administrasi pemerintahan kolonial dijalankan, beberapa bagian dalam bentuk-bentuk pengorganisasian sosial politik tradisional berbasis kekerabatan memudar, mengalami transisi ke bentuk masyarakat teritorial.[5] Sistem administrasi kolonial dan batasan-batasan geografis yang ditetapkan menjadi blueprint bagi sistem administrasi ketika Toraja menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dalam kontestasi sosial-politik, bentuk-bentuk tradisional (pra-kolonial) dan bentuk administrasi modern tersebut cenderung saling mengafirmasi.

Penelitian historis yang cukup komprehensif, yang banyak dikutip oleh penulis lain termasuk Edwin de Jong di atas, menurut saya adalah tulisan Terrance Bigalke, Tana Toraja, A Social History of an Indonesian People (Leiden: KITLV Press, 2005). Membaca Bigalke akan membantu untuk melihat bagaimana setting sosial berbasis kekerabatan rumah (kinship-house) yang pada awalnya tampak egaliter tersebut menjadi semakin hierarkhis; ditandai dengan kemunculan elit-elit lokal pada masa pra-kolonial. Lebih jauh, Bigalke menunjukkan bahwa sekalipun pemerintah kolonial mengakomodir elit-elit lokal melalui klasifikasi dan seleksi ke dalam struktur administrasi pemerintahan, kekuasaan elit-elit lokal tersebut mengalami tantangan oleh masuknya misi Kristen. Pada awalnya, hanya sedikit elit lokal yang menerima agama Kristen, sebagian besar menolak keras sehingga agama Kristen tidak berkembang pesat sampai kekuasaan kolonial yang memang singkat tersebut (k.l. 40 tahun) berakhir. Menguatnya gerakan kiri pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri bagi kekuasaan elit-elit lokal. Salah satu sebabnya adalah kekuasaan feodal yang ditandai dengan penguasaan lahan pertanian terancam dengan berhembusnya land reform. Tema ‘Pembangunan Nasional’ oleh pemerintah Orde Baru di satu sisi menjadi peluang bagi elit-elit lokal untuk merebut kembali posisi sosial mereka; tetapi di sisi lain gelombang perantau menjadi sebuah fenomena khusus dimana kesuksesan di perantauan dapat menciptakan elit-elit baru dalam masyarakat Toraja sekaligus menggoyang struktur sosial lokal. Selain itu, penetrasi lembaga-lembaga modern yang tidak bergantung pada struktur sosial lokal (sekolah, partai, struktur pemerintah Indonesia, dan lain sebagainya) berdampak langsung pada dinamika sosial masyarakat Toraja.

Dengan berdasarkan buku Bigalke tersebut di atas, dalam seminar Toraya Ma’kombongan (Toraja Bermusyawarah) , Pdt. Zakaria J. Ngelow memberi presentasi tentang masyarakat Toraja dari perspektif sejarah yang mencakup (1) Toraja dalam dunia Sulawesi Selatan (masa-masa pra-kolonial), (2) orang Belanda dalam dunia orang Toraja (masa kolonial), dan (3) terintegrasinya Toraja ke dalam Republik Indonesia [seminar ini diadakan di Ma’kale tanggal 4-6 Juli 2012 sebagai rangkaian kegiatan menyambut perayaan 100 Tahun Injil Masuk Toraja (1913-2013) dengan melibatkan tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat Toraja dan pemerintah daerah]. Masa-masa pra-kolonial yang dimaksud ditarik dari masa dimana orang Toraja di pegunungan mengalami perjumpaan yang intens dengan masyarakat pesisir, utamanya Bugis, sejak abad 17. Masa kolonial adalah masa pendudukan Belanda yang dimulai sejak 1908 sampai pada masa kemerdekaan Indonesia dan masuknya Toraja sebagai bagian dari Indonesia. Menurut Ngelow, dari perspektif sosio-historis, ketiga masa tersebut digerakkan oleh enam unsur yang disebutnya sebagai 6K: kaa (kopi), kaunan (hamba), kaparentaan (pemerintahan), kasaranian (kekristenan), katorayaan (identitas ke-Toraja-an) dan kapariwisataan (industri pariwisata). Komoditas kopi menjadi faktor utama yang menyebabkan kerajaan-kerajaan pesisir di Sulawesi Selatan ‘naik’ ke Toraja dan membentuk jaringan perdagangan kopi melalui perang dan aliansi. Perdagangan budak adalah dampak dari situasi perdagangan kopi tersebut, dimana banyak orang Toraja ditangkap (efek perang) atau dijual oleh sesama orang Toraja (elit-elit lokal) kepada orang-orang pesisir. Masuknya Belanda menandai babak yang sangat penting dalam proyeksi identitas orang Toraja kontemporer. Pada masa ini, administrasi pemerintahan modern (kaparentaan) diterapkan, agama Kristen (kasaranian) disebarkan oleh para misionaris Protestan berbarengan dengan pendidikan (sekolah); dan identitas sebagai suku Toraja (katorayaan) mulai diterima oleh orang-orang Toraja. Industri pariwisata (kapariwisataan) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia orang Toraja melalui proyek pengembangan pariwisata nasional oleh pemerintah Indonesia, terutama pada masa Orde Baru.

Halaman: 1 2




Senin, 21 September 2015

BATU TALLU (SIMBUANG)

Unknown
sebuah catatan singkat....
 
Saya tertarik untuk menuliskan tentang kisahyang berasal dari Simbuang, Toraja Barat, yaitu kisah Batu Tallu. Tetapi karena luasnya cakupan kisah tersebut (sejarah, cerita-rakyat, hasil penelitian, dan lain sebagainya), tulisan ini sesungguhnya hanyalah sebuah catatan singkat saja, tidak menggambarkan keseluruhan kisah.

Batu Tallu adalah nama sebuah artefak yang terletak di sebuah kampung Toraja
bagian barat bernama Simbuang. Oleh orang Simbuang, biasa disebut dengan nama Simbuang Tua atau Simbuang Batu Tallu. Selain Simbuang, banyak kampung lain yang tersebar di sekitarnya seperti Sima, Paun, Lekke’, Sarang Dena, Buttao dan lain sebagainya. Namun, jika mereka berada di luar, semua dikenal atau memperkenalkan diri sebagai orang Simbuang.
-           
1) Sawitto: matanduk, tanduk kerbau, simbol kekuasaan; 2)  Rante Bulawan: palasa makati’, simbol keberanian; 3) Sa’dan: lonjong (?).

Jika melihat sekilas pada Batu Tallu, orang tidak akan menyangka bahwa di balik ketiga batu tersebut ada sejarah panjang yang direpresentasikan dalam kebisuannya. Saya sangat terperanjat ketika mencoba menelisik lebih dalam sejarahnya. Oleh orang-orang tua yang berada di sekitar kampung, Batu Tallu yang diam membisu menjadi berbicara. Konon, ketiga batu adalah milik tiga daerah: Sa’dan, Sawitto dan Rante Bulawan. Pada masa lalu, mereka mengadakan pertemuan di Simbuang.  Mereka datang dengan membawa batu dari daerahnya masing-masing untuk ditanam sebagai pengingat akan pertemuan yang mereka adakan, Basse Batu Tallu.

Pertanyaan segera timbul, bagaimana hubungan ketiga daerah tersebut dengan Simbuang? Mengapa mereka datang, bertemu dan menanam prasasti Batu Tallu? Jika ada batu yang ditanam, tentu itu bukanlah pertemuan yang biasa. Apakah pertemuan ini didasarkan atas kekerabatan, ataukah ini adalah upaya untuk membentuk aliansi, atau kekerabatan sekaligus aliansi?

Sebagian besar pertanyaan yang timbul tersebut belum terjawab. Saya belum mendapatkan data yang akurat mengenai kepentingan apa yang membuat mereka mengadakan pertemuan bersama. Tetapi saya mencoba mencari tahu cerita lain yang sekiranya dapat menjadi simpul untuk melihat hubungan tersebut lebih jauh. Dari ketiga daerah tersebut, hanya Rante Bulawan yang masih sangat samar-samar. Yang paling jelas adalah hubungan antara Sawitto dan Simbuang, terungkap dalam frase: Nene’ Simbuang, appo Sawitto. Ini merepresentasikan sebuah hubungan kekerabatan antara orang Simbuang dan orang Sawitto. Hubungan tersebut juga didukung oleh cerita tentang sebuah parang tanpa sarung, karena konon sarungnya berada di Sawitto. Orang Simbuang masih percaya bahwa dalam momen-momen tertentu, parang itu bisa berdiri sendiri dan gagangnya menghadap ke Sawitto. Ada beberapa versi sebutan untuk parang tersebut, tetapi yang paling umum ada dua: To Sawitto dan atau Tonapa. Saya belum pernah melihat parang tersebut, yang konon sekarang berada di Banga', salah satu kampung di Simbuang.

Sebuah penelitian mengenai sejarah kerajaan-kerajaan Ajattaparreng menunjukkan titik terang. Druce, sang peneliti, melakukan penelitian mengenai sejarah lima kerajaan yang pada masa lalu membentuk aliansi di Ajattaparreng. Dari pemaparannya tentang sejarah Kadatuan Sawitto, ia mendapatkan narasi tua orang Sawitto dan sekitarnya (sekarang Kabupaten Pinrang) yang mengatakan bahwa Sawitto didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Simbuang. Peneliti ini mengungkapkan bahwa hubungan kekerabatan terus berlanjut sampai tahun 1960-an. Orang-orang dari Simbuang sering menghadiri acara-acara penting yang diadakan di Sawitto. Beberapa tetua di Pinrang yang menjadi narasumber peneliti mengungkapkan, kedatangan mereka selalu disambut dengan penuh hormat, sebagaimana layaknya nene' disambut oleh cucu (appo). Demikian juga tidak jarang orang dari Sawitto dan sekitarnya mengunjungi Simbuang. Salah satu falsafah Sawitto juga menggambarkan hubungan erat tersebut, berbunyi: iyapa na madeceng tanae sawitto siruntupi matanna na  wanuae, matanna ri simbuang iya kiya wanuanna ri sawitto. Tetapi sekarang, narasi kekerabatan tersebut mulai tergusur dan kemungkinan besar akan hilang di kalangan orang-orang Sawitto. Ada gap antara narasi ‘tua’ yang masih menghubungkan asal-usul mereka sebagai keturunan dari Simbuang dengan identifikasi oleh generasi terkini. Situasinya terbalik dengan di Simbuang, dimana frase Nene' Simbuang, Appo Sawitto dikenal secara umum. Sayangnya, Druce tidak pernah sampai ke Simbuang melakukan penelitian karena fokus di Ajattaparreng.

Hubungan dengan Sa’dan didukung oleh sebuah erong yang berbentuk kerbau yang terletak di kampung Lekke’, sekitar 3 km dari Simbuang Batu Tallu.  Orang Simbuang menyebutkan bahwa erong tersebut adalah kerbau milik orang Sa’dan. Dengan kekuatan magic peti mati dari kayu tersebut dibuat berjalan dari Sa’dan ke Simbuang. Mengenai Sa'dan mana yang dimaksud, terdapat dua versi. Sebagian besar orang Simbuang meyakini bahwa Sa'dan tersebut adalah daerah Sa'dan di Kabupaten Toraja Utara, sementara Druce memperkirakan Sa'dan yang dimaksud adalah sebuah wilayah yang bernama Ulu Saddang di Pinrang bagian utara.

Druce juga memperkirakan bahwa Perjanjian Batu Tallu terjadi pada masa-masa dimana Kadatuan Sawitto sedang berada dalam masa keemasan sebelum ditaklukkan oleh Gowa; dan karenanya juga sebelum era Arung Palakka (abad 17, baca: Legenda To Pada Tindo: Invasi Arung Palakka (Raja Bone) ke Toraja). Kepala Onderafdeling (Controleur) Makale pada zaman kolonial Belanda bernama HT Lanting menyebutkan, sesungguhnya ada delapan daerah yang mengadakan pertemuan di Simbuang pada saat itu: Simbuang, Saddang (Sa'dan?), Mamasa, Rante Bulawan, Sawitto, Gallang-kallang, Balanipa dan Matangnga.


Wilayah yang ikut dalam Basse Batu Tallu:




***

In the past, the people of eight lands gathered in Simbuang. These lands were Simbuang, Saddang, Mamasa, Rante Bulawan, Sawitto, Gallang-kallang, Balanipa and Matangnga. These eight made an agreement concerning war and defense. Each of the lands chose a title for themselves, which reflected their position.
Sawitto
called itself
datu (ruler); Rante Bulawan named itself patawa mana (the divider of things); Mamasa called itself limbong kalua' and would aid people in times of need; Gallang-kallang took the name eran bulan (the golden messenger) and would take news to Sawitto; Matangnga took the name tikana titing karu and would take news to the other in the event of war. Simbuang declared itself nene' (grandparent/ancestor), because it was regarded as the elder of the group.
Sawitto was opposed to Simbuang being called
nene', but Simbuang provided proof of its superior wisdom and cleverness and eventually Sawitto conceded.


- H.T. Lanting, Kontrolir Belanda -
The title chosen by Simbuang and Sawitto in this tradition, nene' and datu, serve to set out their respective position in the above alliance as the two most prominent settlements. The title datu reflects the fact that Sawitto was the more powerful of the group while the title nene' conveys Simbuang's precedence over Sawitto and the six other members of the alliance by way of being older. That Sawitto first challenges but eventually acknowledges Simbuang's position as the elder in this alliance appears to symbolize power acceding to age and ancestry.

- Stpehen C. Druce -
ise’na  sawitto  engkai ri ada’e,  ise’na  ada’e  angakai  ri pangkaurannge, ise’na pangkaurannge engkai ri alabbirannge, ise’na  alabbirannge enkai ri decennge, ise’na decennge engkai ri tau mapparentae, ise’na to mapparentae engkai ri pabbanuae,  ise’na pabbanuae engkai ri wanuae, ise’na wanuae engkai ri sawi busesae, ise’na buasesae engkai ri pammasena dewatae, ise’na dewatae engakai tettong ri lampue, sanre ri tongangnge, tudang ri tana paccingnge, macalinrung ri pada-padannge, mappake pute kinnong-kinnong mangasa ri batue, tuo tammate, mate mo masannannge matepi dua tellu masssola-solae, rabba sipatokkong, mali siparappe, malilu sipakainga, iyapa na madeceng tanae sawitto siruntupi matanna na  wanuae, matanna ri simbuang iya kiya wanuanna ri sawitto

- falsafah Sawitto -




Kamis, 17 September 2015

Aylan, Aylan...

Unknown
Ketika engkau bertemu Tuhan, Aylan,
mintalah supaya malapetaka datang atas mereka yang telah mempermain2kan dan memporakporandakan bangsamu dari balik layar.
Mereka  yang telah membawamu pada kematian.
Hidup ini tak adil jika harus memanjaatkan doa bagi keselamatan mereka.

Sabtu, 12 September 2015

Kartini: Pikiran Adalah Puisi

Unknown

Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni
Tapi mana bisa ada seni tanpa puisi? 
Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, 
pendeknya segala yang indah dalam hidup ini, adalah puisi!
Kartini

Rabu, 02 September 2015

Rombongan Pelayat Kena 'Tilang Peniti' Pak Polisi

Unknown


Kejadian bermula ketika sebuah rombongan dari Toraja bermaksud pergi melayat kerabat mereka di Masamba pada hari Rabu, 12 Februari 2014. Dengan berkendaraan sepeda motor, sekitar pukul 13.45, mereka melintasi daerah Lebang, jalan poros Toraja – Palopo. Mereka ditahan oleh empat orang polisi berseragam lengkap. Setelah memeriksa surat-surat, yang ternyata lengkap, mereka mulai memeriksa ‘kelengkapan lainnya’. Diantaranya adalah asesoris kendaraan seperti kaca spion, tutup pentil, stiker, apakah membawa ban dalam cadangan, dan seterusnya. 


Senin, 31 Agustus 2015

Legenda To Pada Tindo: Invasi Arung Palakka (Raja Bone) ke Toraja (Bag. I)

Unknown





Legenda perang To Pada Tindo adalah kisah tentang perlawanan orang-orang Toraja terhadap invasi Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka. Kerajaan Bone mengklaim kemenangan dan penaklukkan atas Toraja pada saat itu, yang dianggap sebagai penaklukkan terakhir di seluruh daerah Sulawesi bagian selatan. Tetapi tradisi lisan orang Toraja mengklaim sebaliknya, mereka-lah yang menang, Arung Palakka dipaksa mundur (dihalau) dari Toraja. 

Memandang Dari Barat Toraja: SIMBUANG

Unknown


Simbuang adalah salah satu daerah di bagian barat Toraja yang berbatasan dengan Pinrang dan Mamasa. Jarak tempuh dari Makale bisa memakan waktu satu hari, apalagi kalau musim hujan.  Selain Hard-Top, kendaraan roda empat (mobil) lainnya hampir mustahil bisa sampai di Simbuang. Sebenarnya, Simbuang adalah nama salah satu kampung yang juga biasa dikenal sebagai Simbuang Tua atau Simbuang Batu Tallu. Selain Simbuang, banyak kampung lain yang tersebar di sekitarnya seperti Sima, Paun, Lekke’, Sarang Dena, Buttao dan lain sebagainya. Namun, semua orang yang berasal dari daerah-daerah tersebut dikenal atau memperkenalkan diri sebagai orang Simbuang. Apalagi, nama Simbuang diambil sebagai nama kecamatan yang meliputi semua kampung-kampung tersebut. Sekalipun letaknya cukup terpencil pada masa kini, tetapi Simbuang memiliki sejarah yang panjang. Simbuang terlibat aktif dalam dinamika sosial politik yang terjadi di dataran tinggi sejak masa-masa pra kolonial, masa kolonial dan masa-masa awal kemerdekaan. 


Dalam tulisan ini, saya ingin membagi cerita tentang Simbuang berdasarkan pengalaman perjalanan saya ke sana (tahun 2011 dan 2013), mengumpulkan cerita demi cerita, mengunjungi beberapa situs bersejarah dan menyaksikan perpaduan antara keindahan alam dan kehidupan masyarakat. Selama saya berada di Simbuang, saya merasa tidak sekedar menikmati keindahan alam, tetapi juga menikmati sejarah dan budaya salah satu kelompok masyarakat Toraja. Karena itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian: alam, masyarakat dan sejarah Simbuang. Tulisan ini awalnya hanyalah catatan biasa tentang perjalanan yang saya lakukan di Simbuang, tetapi kemudian saya lengkapi.

1. Keindahan Alam

Kampung-kampung di Simbuang tersebar di punggung-punggung pegunungan yang tidak terlalu tinggi. Pemandangan alamnya sangat beragam. Di bagian-bagian tertentu tampak tandus, berbatu-batu dan hanya ditumbuhi rerumputan. Di bagian lain terdapat hutan pinus. Yang paling spektakuler menurut saya adalah pemandangan sawah bertingkat-tingkat yang sangat luas. Sawah tersebut tampak seperti anak-anak tangga yang membentang dari bagian atas pegunungan sampai dekat sungai di bawahnya. Kita bisa membayangkan betapa indahnya pemandangan tersebut di setiap musim padi: mulai dari musim menanam, bertumbuh, apalagi pada musim panen padi. 


1000 tangga menuju surga. :-)
Pegunungan, sawah-bertingkat, hutan pinus, sungai; komplit!
Sungai Masupu mengalir di antara pegunungan, membelah kampung-kampung Simbuang yang tersebar di kedua sisi punggung pegunungan di atas sungai. Sungai tersebut berbatu-batu, mulai dari batuan-batuan kecil hingga batuan-batuan raksasa. Air yang mengalir cukup deras dan selalu keruh. Sekalipun belum pernah mencoba atau melihat orang melakukannya, saya membayangkan bahwa sungai tersebut akan menjadi tempat yang sangat tepat bagi olahraga arung jeram. Apalagi rutenya cukup panjang sebelum akhirnya bertemu dan menyatu dengan sungai Sa'dan yang turun dari pegunungan Toraja sampai ke Pinrang. 

Sungai Masupu membelah pegunungan di Simbuang.  
Di beberapa ceruk batu, goa atau liang yang tersebar di pinggiran sungai, terdapat puluhan makam tua. Orang-orang Simbuang pada umumnya sudah tidak mengenali lagi secara detail peti-peti tua yang tersebar di makam-makam yang sudah berumur ratusan tahun tersebut. Mereka hanya menyebutnya sebagai kayu matena to dolo (peti orang-orang dulu / leluhur). Ukurannya bervariasi, mulai dari ukuran biasa sampai ukuran yang sangat besar. Di dalam peti-peti tersebut, terdapat tulang-belulang manusia. Tetapi tidak sembarang waktu peti-peti bisa dibuka untuk dilihat isinya, hanya pada masa-masa setelah panen padi. Jika sedang mengolah sawah, apalagi kalau padi-padi sedang mulai berisi, maka pemali (tabu) untuk membuka peti mati karena dipercaya dapat menyebabkan bencana bagi tanaman padi (gagal panen).


2. Masyarakat




Kampung-kampung yang tersebar di Simbuang terbentuk dari rumah-rumah yang saling berdekatan. Sangat jarang ada rumah yang memiliki pekarangan sendiri yang luas, karena rumah-rumah tersebut tampak saling berdempetan. Dalam satu kampung biasanya terdiri atas puluhan rumah. Berjalan di tengah-tengah kampung adalah hal yang sangat menyenangkan karena kita bisa melihat banyak hal sekaligus. Rumah-rumah, aktivitas masyarakat seperti menenun, memberi makan ternak (babi, kerbau, ayam), menumbuk padi, dan berbagai aktivitas lainnya. 


Arsitektur rumah-rumah di setiap kampung terbagi dua, yaitu rumah tradisional Toraja (tongkonan) dan rumah panggung bergaya Bugis (banua Bugi’). Tongkonan di Simbuang agak berbeda dengan di Makale dan Rantepao: atap depan dan belakang agak rendah (tidak menjulang), bagian depan dan belakang melebar. Kabongo’ (patung kepala kerbau) diletakkan di tulak somba (pilar utama bagian depan) di antara tanduk-tanduk kerbau. Ruangan dalam terbagi atas tiga ruangan: ruangan depan berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus tempat tidur, ruang tengah sebagai tempat tidur keluarga, sedangkan bagian belakang adalah dapur. Pada bagian luar terdapat beranda, yang biasa digunakan untuk duduk-bercengkerama atau untuk menenun kain sarung. Di kolong rumah masih digunakan sebagai kandang kerbau pada malam hari. Jadi, fungsi tongkonan sebagai rumah tinggal benar-benar masih berjalan, tidak sekedar rumah adat tak berpenghuni yang hanya digunakan pada saat ritual pemakaman atau sekedar objek wisata.

Beranda tongkonan. Seperti berada di anjungan kapal.
Bagian belakang tongkonan menjadi tempat menumbuk padi.










Semua tongkonan di Simbuang menghadap ke arah Buttu Karua, sebuah gunung yang disakralkan oleh orang Simbuang. Dulu, bahan yang digunakan untuk atap tongkonan bervariasi, ada yang terbuat dari kayu, bambu, alang-alang dan atap seng. Tetapi sekarang kebanyakan sudah diganti dengan atap seng, hanya satu-dua yang masih menggunakan bahan alami. Ada salah satu tongkonan yang konon dibangun dengan hanya menggunakan bahan dari satu pohon yang sangat besar.

Bertani adalah pekerjaan utama orang Simbuang. Karena itulah kebudayaan orang Simbuang sangat berciri agraris. Contohnya seperti yang sudah saya singgung di atas tentang pemali membuka peti mati yang dikaitkan dengan musim pengolahan sawah (padi). Bentuk-bentuk pemali yang lain pasti selalu berkaitan erat dengan pekerjaan di sawah. Selain padi, juga ada kebun kopi dan coklat. Kopi dan coklat ditanam di areal yang tidak dapat diolah menjadi sawah.   


Kalau kita berjalan-jalan di tengah-tengah kampung pada pagi atau sore hari, maka kita akan mendengar suara lesung bertalu-talu karena para wanita sedang menumbuk padi. Saya tidak menemukan adanya mesin penggilingan padi di Simbuang, semua masih menggunakan cara tradisional. Padi-padi dipanen dengan menggunakan teknik pare kutu’, yakni memanen dengan hanya memotong / mengambil tangkai bulir padi, lalu disatukan dan diikat. Setelah terkumpul, padi tersebut akan dijemur sehingga tahan lama ketika disimpan di lumbung. Padi yang sudah disimpan di lumbung akan diambil sedikit demi sedikit (sesuai kebutuhan) untuk dijemur lagi sebelum akhirnya siap ditumbuk untuk memisahkan kulit dari isinya (beras). 
Menenun adalah pekerjaan sambilan yang dilakukan oleh para perempuan, terutama pada masa-masa setelah menanam dan sebelum panen, dimana banyak waktu senggang. Pekerjaan menenun biasanya dilakukan di beranda rumah. Kain tenun yang dihasilkan sangat berkualitas dan bervariasi. Memang, sarung tenun Simbuang sudah sangat terkenal, bahkan pernah menjadi oleh-oleh untuk istri Wakil Presiden Yusuf Kalla ketika diadakan acara Toraya Mamali’ tahun 2006.


Menurut seorang ibu, lama pekerjaan untuk satu sarung tergantung pada intensitas pengerjaannya: kalau dikerjakan secara serius setiap hari, bisa 1 bulan/sarung, tetapi kalau dikerjakan secara santai bisa sampai 3 bulan/sarung. Mereka pada umumnya membuat sarung untuk kebutuhan sendiri, yaitu untuk dipakai sehari-hari, diberikan kepada keluarga dekat yang datang berkunjung (sebagai oleh-oleh), dan lain sebagainya. Sekalipun tidak terlalu sering, biasanya mereka juga menenun jika ada yang mau beli atau jika ada yang memesan dari kota. Produksi hand-made (buatan tangan) dan sangat berkualitas seperti sarung Simbuang tersebut tentu tidak dapat dijual murah dong!
Di Simbuang, masih ada komunitas-komunitas penganut agama leluhur (Alukta / Aluk To Dolo). Menurut para orang-tua, komunitas Alukta memiliki banyak sekali ritual-ritual, mulai dari ritual selama mengolah sawah, membangun rumah, pemakaman, dan lain sebagainya. Sayangnya, saya tidak sempat mengikuti satupun dari ritual yang diadakan oleh mereka. Sekalipun demikian, saya sempat berkunjung pada sebuah kedukaan dimana seseorang baru saja meninggal. Keluarga yang berduka tersebut sudah Kristen. 


Yang menarik perhatian adalah jenazah yang dibaringkan di ruang tengah tersebut dibungkus dengan kain berlapis-lapis sehingga menjadi berbentuk silinder. Tradisi membungkus jenazah disebut mebalun. Sebagaimana umumnya orang Toraja, pemakaman belum bisa langsung ditentukan waktunya, karena menunggu anggota keluarga lainnya.



Kuda masih digunakan sebagai alat transportasi di Simbuang, terutama untuk mengangkut hasil bumi untuk dijual di pasar. Kuda-kuda tersebut tampak sudah terlatih untuk mengangkut barang melewati daerah yang bergunung-gunung. Pada musim setelah panen padi, kuda-kuda dan kerbau dilepas untuk mencari makan sendiri di sawah yang sudah dipanen. Di Simbuang Tua terdapat pemali naik kuda ketika melintasi kampung, orang harus turun dari kuda. Karena itu, kuda hanya bisa ditunggangi oleh manusia ketika di luar kampung.  Pada saat ini, fungsi kuda mulai digeser oleh motor. Pembangunan jalan yang menembus dan menghubungkan hampir semua kampung di Simbuang membuat motor tampak lebih efektif.  
3. Sejarah
Nah, bagian ketiga ini sedikit lebih serius dan mendalam, karena saya akan bicara sejarah. Sebenarnya masih banyak artefak dan cerita yang mengandung unsur historis di Simbuang, tetapi kali ini saya akan menuliskan sesuai dengan yang saya dapatkan saja selama saya di Simbuang.

Barangkali, Batu Tallu (harafiah: tiga batu) adalah situs sejarah terpenting yang dapat menjadi rujukan riil tentang kesejarahan orang Simbuang pada masa-masa pra-kolonial. Batu Tallu adalah nama sebuah artefak yang terletak di kampung Simbuang atau Simbuang Tua atau Simbuang Batu Tallu. Konon, ketiga batu adalah milik tiga daerah: Sa’dan, Sawitto (sebuah kerajaan di daerah Pinrang) dan Rante Bulawan (daerah di sekitaran Mamasa). Pada masa lalu, mereka mengadakan pertemuan di Simbuang.  Mereka datang dengan membawa batu dari daerahnya masing-masing untuk ditanam sebagai pengingat akan pertemuan yang mereka adakan, Basse Batu Tallu.

Ada dua versi yang saling terkait mengenai latar-belakang pertemuan tersebut: hubungan kekerabatan dan aliansi. Seorang tetua berujar, sirari bang pa tu mittu tondok (pada masa lampau, kampung-kampung saling berperang). Hubungan kekerabatan juga menjadi penyebab utama. Hubungan antara Sawitto dan Simbuang terungkap dalam frasa Nene’ Simbuang, Appo Sawitto. Salah satu falsafah Sawitto juga menggambarkan hubungan erat tersebut, berbunyi: iyapa na madeceng tanae sawitto siruntupi matanna na  wanuae, matanna ri Simbuang iya kiya wanuanna ri sawitto. Hubungan tersebut juga didukung oleh cerita tentang sebuah parang tanpa sarung, karena konon sarungnya berada di Sawitto. Orang Simbuang masih percaya bahwa dalam momen-momen tertentu, parang itu bisa berdiri sendiri dan gagangnya menghadap ke Sawitto. Ada beberapa versi sebutan untuk parang tersebut, tetapi yang paling umum ada dua: To Sawitto dan atau Tonapa. Parang tersebut sekarang berada di Banga', salah satu kampung di Simbuang.

Hasil penelitian Stephen C. Druce yang meneliti tentang sejarah Ajattaparreng membantu untuk memahami sejarah Batu Tallu tersebut. Dari pemaparannya tentang sejarah Kadatuan Sawitto, ia mendapatkan narasi tua orang Sawitto dan sekitarnya (sekarang Kabupaten Pinrang) yang mengatakan bahwa Sawitto didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Simbuang. Peneliti ini mengungkapkan bahwa hubungan kekerabatan terus berlanjut sampai tahun 1960-an. Orang-orang dari Simbuang sering menghadiri acara-acara penting yang diadakan di Sawitto. Beberapa tetua di Pinrang yang menjadi narasumber peneliti mengungkapkan, kedatangan mereka selalu disambut dengan penuh hormat, sebagaimana layaknya nene' disambut oleh cucu (appo). Demikian juga tidak jarang orang dari Sawitto dan sekitarnya mengunjungi Simbuang. Tetapi sekarang, narasi kekerabatan tersebut mulai tergusur dan kemungkinan besar akan hilang di kalangan orang-orang Sawitto. Ada gap antara narasi ‘tua’ yang masih menghubungkan asal-usul mereka sebagai keturunan dari Simbuang dengan identifikasi oleh generasi terkini. Situasinya terbalik dengan di Simbuang, dimana frase Nene' Simbuang, Appo Sawitto dikenal secara umum. Sayangnya, Druce tidak pernah sampai ke Simbuang melakukan penelitian karena fokus di Ajattaparreng.

Hubungan dengan Sa’dan didukung oleh sebuah kayu mate (peti mati) berbentuk kerbau yang terletak di kampung Lekke’, sekitar 3 km dari Simbuang Batu Tallu. Peti ini tergolong unik karena selain bentuknya yang persis menyerupai kerbau, mayat (tulang-belulang) diletakkan di dalam perut peti mati. Orang Simbuang menyebutkan bahwa kayu mate tersebut adalah milik orang Sa'dan. Dengan kekuatan magic peti mati dari kayu tersebut dibuat berjalan dari Sa’dan ke Simbuang. Mengenai Sa'dan mana yang dimaksud, terdapat dua versi. Sebagian besar orang Simbuang meyakini bahwa Sa'dan tersebut adalah daerah Sa'dan di Kabupaten Toraja Utara, sementara Druce memperkirakan Sa'dan yang dimaksud adalah sebuah wilayah yang bernama Ulu Saddang di Pinrang bagian utara.

Druce memperkirakan Perjanjian Batu Tallu terjadi pada masa-masa dimana Kadatuan Sawitto sedang berada dalam masa keemasan sebelum ditaklukkan oleh Gowa; dan karenanya juga sebelum era Arung Palakka (abad 17, baca: Legenda To Pada Tindo: Invasi Arung Palakka (Raja Bone) ke Toraja). 


Kepala Onderafdeling (Controleur) Makale pada zaman kolonial Belanda bernama HT Lanting menyebutkan, sesungguhnya ada delapan daerah yang mengadakan pertemuan di Simbuang pada saat itu: Simbuang, Saddang (Sa'dan?), Mamasa, Rante Bulawan, Sawitto, Gallang-kallang, Balanipa dan Matangnga. Mereka kemudian memilih 'gelarnya' masing-masing yang sesuai dengan peran dan kedudukan:



Sawitto called itself datu (ruler); Rante Bulawan named itself patawa mana (the divider of things); Mamasa called itself limbong kalua' and would aid people in times of need; Gallang-kallang took the name eran bulan (the golden messenger) and would take news to Sawitto; Matangnga took the name tikana titing karu and would take news to the other in the event of war. Simbuang declared itself nene' (grandparent/ancestor), because it was regarded as the elder of the group. (HT. Lanting)


Dengan memperhatikan pola kekerabatan yang berlaku, Druce memperkirakan bahwa Simbuang dipilih sebagai tempat pertemuan karena paling dituakan (diponene'). 

The title chosen by Simbuang and Sawitto in this tradition, nene' and datu, serve to set out their respective position in the above alliance as the two most prominent settlements. The title datu reflects the fact that Sawitto was the more powerful of the group while the title nene' conveys Simbuang's precedence over Sawitto and the six other members of the alliance by way of being older. That Sawitto first challenges but eventually acknowledges Simbuang's position as the elder in this alliance appears to symbolize power acceding to age and ancestry. (Stephen C. Druce)



Gereja Toraja Jemaat Sima, Simbuang
Situs sejarah lainnya adalah sebuah bangunan Gereja Toraja yang terletak di Sima, sekitar 3 km dari Simbuang Batu Tallu. Gereja ini dibangun pada zaman Belanda. Menurut orang-orang tua di Simbuang, pembangunan Gereja tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Kristen yang jumlahnya masih sangat sedikit pada masa tersebut, melainkan dibangun secara gotong-royong oleh hampir semua penduduk yang berdatangan dari berbagai kampung. Sebagian besar dari mereka adalah penganut agama suku (Aluk To Dolo). Gereja tersebut dibangun dengan mengikuti arsitektur rumah Toraja (Tongkonan) tetapi dengan tambahan yang menyerupai menara kecil di tengah-tengah bubungan. Di puncaknya terdapat patung ayamDulunya, ada dua bangunan Gereja peninggalan Belanda dengan arsitektur seperti ini, yang satunya lagi di Sangalla'. Tetapi yang di Sangalla' sudah dibongkar dan dibangun dengan arsitektur modern, sehingga Gereja Sima ini menjadi satu-satunya yang masih bertahan.

Pada bagian atas pintu utama di depan, terdapat sebuah papan bertuliskan SONDANA ERAN DILANGI', DITOENTOEN LAN TE BANUA. Kemungkinan besar, kalimat tersebut terinspirasi dari cerita rakyat Toraja yang bercerita tentang tangga-langit (eran dilangi') yang menghubungkan antara Puang Matua (Ilah Pencipta) dengan manusia. Karena kesalahan fatal, yakni pernikahan diantara saudara (i) kandung, Puang Matua murka dan merobohkan tangga-langit tersebut sehingga hubungan dengan manusia terputus. Mungkin, tulisan di pintu Gereja dimaksudkan bahwa melalui Gereja tersebut, akan diperkenalkan/diajarkan tentang 'pengganti tangga-langit' (sondana eran dilangi') yang roboh tersebut, yakni Yesus Kristus. Dalam kepercayaan Kristen, hubungan antara manusia dan Allah yang terputus karena dosa Adam dan Hawa dipulihkan kembali melalui pengorbanan Yesus di Kayu Salib. 

********


Foto-foto lainnya:
Kampung Rea, Simbuang
Arah rumah yang serupa / sama.
Sarung tenun Simbuang.
Tongkonan yang masih berfungsi sebagai rumah-tinggal
Salah satu Tongkonan tua di Simbuang Batu Tallu
Seteko kopi di pagi hari. :-)
Wow, lebat...
Kolong rumah tempat menyimpan kerbau di malam hari.
Babi sekeluarga di 'rumahnya' yang nyaman. :-)
Mesra, romantis, reproduksi. :-)
Kawanan kerbau dan kawanan kuda, akur!!!
Peti mati yang sangat besar.
Salah satu makam tua di pinggir sungai. Mulai rusak.

postingan populer :