Senin, 31 Agustus 2015

Bukan Mayat Berjalan: Dekat Dengan Leluhur Melalui Ritual Ma'nene di Toraja

Unknown

Seorang pemuda sedang memegang 
jenazah keluarganya yang sudah jadi mummi. 
(dok. pribadi)
torajabercerita - Apa jadinya kalau anda berjalan di tengah-tengah peti-peti mati yang diletakkan berjejer dan dalam keadaan terbuka, sementara mayat-mayat yang sebagian besar masih utuh terbaring di peti tersebut? Kalau di dalam film-film, mungkin ini akan jadi menyeramkan. Apalagi kalau ditambah dengan musik dan visualisasi yang bikin bulu kuduk merinding. Tetapi di beberapa kampung di Toraja, ini adalah hal yang biasa, momen tahunan.

Ya, di Pangala' dan Baruppu', hampir setiap tahun kita dapat menjumpai ritual Ma'nene. Waktu tempuh dari Rantepao ke Pangala' sekitar 2 jam, sementara Baruppu lebih jauh lagi. Ritual ini dilakukan pada bulan-bulan tertentu setiap tahun. Setiap kampung bisa berbeda soal waktu pelaksanaan. Di kampung Lempo Poton (Pangala'), ritual berlangsung bulan Agustus, seperti yang diposting oleh Malni di facebook miliknya, Malni Fitri Matasak

Ritual yang sempat saya ikuti di kampung yang berbeda berlangsung di bulan September, 2014. Menurut warga setempat, Ma'nene di kampung mereka memang biasanya berlangsung setiap bulan September.

Pagi-pagi, masing-masing rumpun keluarga datang ke Patane, yakni kuburan keluarga yang dibangun seperti rumah dengan ukuran agak kecil. (Tradisi pemakaman Toraja pada masa lalu  tidak menanam mayat anggota keluarga di dalam tanah, melainkan meletakkan mayat di dalam liang batu yang dipahat atau di goa-goa alam. Pada masa sekarang, tradisi tersebut semakin bergeser ke bentuk Patane). Mereka mengeluarkan peti-peti dari dalam Patane lalu diletakkan berjejer di depan makam. Setelah itu, semua peti dibuka dan mayat-mayat yang berada di dalam peti dikeluarkan untuk dijemur, dibersihkan, diganti pakaiannya, dan seterusnya. Banyak di antara mayat-mayat tersebut yang tinggal tulang-belulang, tetapi tidak sedikit juga yang masih utuh alias jadi mummi walaupun telah berpuluh atau ratusan tahun dimakamkan.
dok. pribadi
Ketika mengikuti ritual tersebut, imej seram tentang orang-orang yang sudah mati seakan sirna. Yang kita jumpai justeru suara orang tertawa, sesekali berteriak aihihi... (teriakan khas Toraja). Tidak ada rasa takut berjalan-jalan di antara peti-peti mati dan berbaur dengan mayat-mayat. Bahkan mayat-mayat tersebut diajak bercakap-cakap oleh anggota keluarganya, seakan-akan mereka masih mendengar apa yang disampaikan. Seorang ibu berbicara kepada salah satu jenazah saudaranya: tontong komi tiro-tiro tu bati'mi dikka, tu male mambela dio lu padangna tau. Ammu benni dalle'  (tetaplah memberi perhatian kepada keturunanmu, yang pergi jauh merantau ke tanah orang. Berikanlah mereka rejeki). Saya sempat bercakap-cakap dengan salah seorang yang sedang membersihkan mayat keluarganya. Dengan penuh semangat dia menjelaskan bahwa mayat tersebut adalah Kakeknya, seorang tentara yang sangat pemberani dan disegani pada masa aktif bertugas. Di bagian peti lain, seorang ibu sedang berusaha meminta cincin emas dari jari yang dipakai oleh kerabatnya yang telah jadi mummi. Ia tidak benar-benar hendak mengambil cincin tersebut, tetapi dia yakin bahwa kerabatnya yang telah meninggal itu akan memberikan cincin emas 'dengan cara lain'. Seorang bapak, sambil memegang salah satu mummi, memberi penjelasan panjang lebar kepada keluarga mereka yang lain tentang siapa mummi tersebut. Beberapa orang muda yang datang dari Kendari (Sulawesi Tenggara) tampak mendengar dengan serius, karena mereka ternyata adalah keturunan dari mummi tersebut.
11895978_1040461902630741_7613236487891358005_n
Ma'nene Agustus 2015 di Lempo Poton, Pangala.
(dok. Malni Fitri Matasak)


Setelah dirasa cukup, mayat-mayat yang sudah dibersihkan dan diganti pakaiannya dimasukkan kembali ke dalam peti. Peti-peti tersebut kemudian dikembalikan ke dalam Patane. Setelah itu, semua orang yang hadir wajib untuk ke Tongkonan (rumah adat) rumpun keluarga untuk ibadah (sekarang versi Kristen). Adalah pemali (tabu) kalau langsung berpisah-pisah setelah dari kuburan. Beberapa orang laki-laki sibuk ma'piong bai, memasak daging babi yang dimasukkan di dalam bambu lalu dibakar. Para perempuan sibuk di dapur mempersiapkan kebutuhan makan siang bersama. Beberapa pemuda datang membawa jerigen berisi ballo (tuak). Lengkaplah sudah! Setelah semuanya siap, ibadah dilakukan dan dilanjutkan dengan makan siang bersama. Setelah makan siang, rumpun keluarga tersebut mengobrol sampai sore sambil minum tuak.

Begitulah. Dengan mengikuti ritual Ma'nene, kita menjumpai hubungan yang tetap akrab antara orang yang masih hidup dan keluarga mereka yang sudah meninggal. Keseluruhan rangkaian ritual seakan menegaskan kembali ikatan kekerabatan di antara mereka. Ritual tersebut juga menjadi ajang melepaskan rindu, memperkenalkan leluhur kepada generasi terkini, utamanya cucu-cicit yang datang dari luar Toraja. Ritual ini diturunkan dari kepercayaan leluhur orang Toraja. Untuk landasan religius tersebut, saya belum menggali informasi yang memadai. Tetapi, secara umum, budaya orang Toraja sangat menghormati ikatan kekerabatan; ikatan kekerabatan tersebut terus menerus dipertahankan, tidak hanya terhadap sesama kerabat yang masih hidup, tetapi juga dengan leluhur yang sudah meninggal.
Konversi ke agama Kristen tidak membuat ritual ini hilang melainkan hanya mengalami beberapa perubahan. Bahkan, ibadah yang dilakukan di Tongkonan setelah orang-orang pulang dari makam dipimpin oleh pejabat gereja (Majelis atau Pendeta). Gereja di Toraja, khususnya Gereja Toraja (Protestan) dan Gereja Katolik cenderung akomodatif dengan kebudayaan Toraja. Selain itu, Tongkonan menjadi payung yang mempersatukan keragaman keyakinan religius orang-orang Toraja dalam sebuah rumpun kekerabatan. Karena itu, Tongkonan tidak sekedar sebagai rumah adat, tetapi memiliki fungsi sosial yang sangat kuat bagi orang Toraja. Demikian juga dengan makam keluarga, tidak sekedar tempat meletakkan jenazah, tetapi merupakan Tongkonan tang merambu (harafiah: tongkonan tidak berasap).
Akrab bersama yang sudah meninggal
(dok. pribadi)

Ada banyak informasi yang 'menyesatkan' atau sekedar dilebih-lebihkan tentang ritual ini, terutama melalui internet. Yang paling fenomenal adalah ketika tradisi ini dikait-kaitkan dengan tradisi mayat berjalan di Toraja. Kalau kita googling di internet, maka kita akan menemukan sejumlah berita yang menyesatkan tersebut. Seorang kawan pernah menunjukkan sebuah foro mummi Toraja dalam posisi berdiri karena baru saja diganti pakaiannya; kawan saya mengira bahwa  itu mayat berjalan karena foto tersebut diambil dari sebuah surat-kabar on-line, yang memberi judul mayat berjalan dalam beritanya tentang ma'neneSimak saja berita yang diturunkan oleh media sekelas Liputan 6: Tradisi Mayat Berjalan di Tana Toraja. Walaupun narasinya sendiri dibuat mengambang alias tidak menjelaskan secara detail tentang 'mayat berjalan', tetapi berita tersebut memberikan judul yang sensasional, tetapi jauh melenceng dari maksud ritual itu sendiri. Juga di: liputan 6 Bertemu Mayat Berjalan di Tradisi Ma'nene Tana Toraja. Saya hanya bisa menggelengkan kepala, untuk media yang sudah punya nama seperti itu harus memanipulasi berita untuk menarik perhatian. Sayang sekali! Karena itulah, saya memberi judul 'Bukan Mayat Berjalan' pada artikel ini, untuk sekedar meluruskan informasi-informasi yang keliru tentang ritual ma'nene. Menurut saya, manipulasi berita tersebut berpotensi untuk membuat kesalah-pahaman pembaca tentang ma'nene. Masih banyak hal-hal lebih penting yang mendasari ritual ma'nene, yang semestinya diangkat.
Kisah tentang mayat berjalan, atau tepatnya kemampuan orang Toraja membuat mayat bisa berjalan sendiri, memang dikenal secara umum di Toraja. Kisah tersebut terdapat di Baruppu dan wilayah barat Toraja (Bua Kayu, Simbuang, Mamasa, dlsb). Konon pada masa lalu, perang-perang antar kampung sering terjadi. Ketika kampung-kampung tertentu menyerang kampung lain, orang-orang yang mati kesulitan untuk dibawa pulang ke kampung untuk dimakamkan karena alam Toraja yang sebagian besar adalah pegunungan, sehingga lahirlah magic menjalankan mayat. Situasi alam dan kebiasaan orang Toraja yang sebisa mungkin setiap orang harus dimakamkan di kampungnya turut mendorong lahirnya magic tersebut. Saya sendiri tidak pernah menyaksikan secara langsung, hanya mendengar cerita di masyarakat. Dan kalaupun memang pernah terjadi pada masa lampau, sepertinya sudah mustahil untuk disaksikan pada masa kini alias sudah tidak berlanjut.
Foto-foto Ma'nene di Lempo Poton, Pangala', bulan Agustus 2015 (diposting atas izin pemilik, Malni FM):

 








Untuk informasi budaya Toraja lebih lanjut, silahkan mengakses:
www.torajabercerita.com


7 komentar:

  1. Balasan
    1. Salam kenal. Perkenalkan saya robby, bapak saya dari simbuang ( lembang manuk). Membaca tulisan tulisan di blog beberapa memuat tentang simbuang. Apakah penulis blog ini (bapak/bung atau?) Frans Pangrante juga berdarah simbuang?. Referensi buku yg disebutkan dalam tulisan tulisan di blog baik mengenai sejarah toraja secara umum maupun fokus mengenai simbuang apakah Frans Pangrante memiliki koleksinya? Mohon tanggapannya ke email saya: repparobby@gmail.com. Terima kasih seblumnya.tabe'

      Hapus
  2. tulisan yg mendidik,,good job gan

    BalasHapus
  3. tulisan yg mendidik,,good job gan

    BalasHapus

postingan populer :