Senin, 21 September 2015

BATU TALLU (SIMBUANG)

Unknown
sebuah catatan singkat....
 
Saya tertarik untuk menuliskan tentang kisahyang berasal dari Simbuang, Toraja Barat, yaitu kisah Batu Tallu. Tetapi karena luasnya cakupan kisah tersebut (sejarah, cerita-rakyat, hasil penelitian, dan lain sebagainya), tulisan ini sesungguhnya hanyalah sebuah catatan singkat saja, tidak menggambarkan keseluruhan kisah.

Batu Tallu adalah nama sebuah artefak yang terletak di sebuah kampung Toraja
bagian barat bernama Simbuang. Oleh orang Simbuang, biasa disebut dengan nama Simbuang Tua atau Simbuang Batu Tallu. Selain Simbuang, banyak kampung lain yang tersebar di sekitarnya seperti Sima, Paun, Lekke’, Sarang Dena, Buttao dan lain sebagainya. Namun, jika mereka berada di luar, semua dikenal atau memperkenalkan diri sebagai orang Simbuang.
-           
1) Sawitto: matanduk, tanduk kerbau, simbol kekuasaan; 2)  Rante Bulawan: palasa makati’, simbol keberanian; 3) Sa’dan: lonjong (?).

Jika melihat sekilas pada Batu Tallu, orang tidak akan menyangka bahwa di balik ketiga batu tersebut ada sejarah panjang yang direpresentasikan dalam kebisuannya. Saya sangat terperanjat ketika mencoba menelisik lebih dalam sejarahnya. Oleh orang-orang tua yang berada di sekitar kampung, Batu Tallu yang diam membisu menjadi berbicara. Konon, ketiga batu adalah milik tiga daerah: Sa’dan, Sawitto dan Rante Bulawan. Pada masa lalu, mereka mengadakan pertemuan di Simbuang.  Mereka datang dengan membawa batu dari daerahnya masing-masing untuk ditanam sebagai pengingat akan pertemuan yang mereka adakan, Basse Batu Tallu.

Pertanyaan segera timbul, bagaimana hubungan ketiga daerah tersebut dengan Simbuang? Mengapa mereka datang, bertemu dan menanam prasasti Batu Tallu? Jika ada batu yang ditanam, tentu itu bukanlah pertemuan yang biasa. Apakah pertemuan ini didasarkan atas kekerabatan, ataukah ini adalah upaya untuk membentuk aliansi, atau kekerabatan sekaligus aliansi?

Sebagian besar pertanyaan yang timbul tersebut belum terjawab. Saya belum mendapatkan data yang akurat mengenai kepentingan apa yang membuat mereka mengadakan pertemuan bersama. Tetapi saya mencoba mencari tahu cerita lain yang sekiranya dapat menjadi simpul untuk melihat hubungan tersebut lebih jauh. Dari ketiga daerah tersebut, hanya Rante Bulawan yang masih sangat samar-samar. Yang paling jelas adalah hubungan antara Sawitto dan Simbuang, terungkap dalam frase: Nene’ Simbuang, appo Sawitto. Ini merepresentasikan sebuah hubungan kekerabatan antara orang Simbuang dan orang Sawitto. Hubungan tersebut juga didukung oleh cerita tentang sebuah parang tanpa sarung, karena konon sarungnya berada di Sawitto. Orang Simbuang masih percaya bahwa dalam momen-momen tertentu, parang itu bisa berdiri sendiri dan gagangnya menghadap ke Sawitto. Ada beberapa versi sebutan untuk parang tersebut, tetapi yang paling umum ada dua: To Sawitto dan atau Tonapa. Saya belum pernah melihat parang tersebut, yang konon sekarang berada di Banga', salah satu kampung di Simbuang.

Sebuah penelitian mengenai sejarah kerajaan-kerajaan Ajattaparreng menunjukkan titik terang. Druce, sang peneliti, melakukan penelitian mengenai sejarah lima kerajaan yang pada masa lalu membentuk aliansi di Ajattaparreng. Dari pemaparannya tentang sejarah Kadatuan Sawitto, ia mendapatkan narasi tua orang Sawitto dan sekitarnya (sekarang Kabupaten Pinrang) yang mengatakan bahwa Sawitto didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Simbuang. Peneliti ini mengungkapkan bahwa hubungan kekerabatan terus berlanjut sampai tahun 1960-an. Orang-orang dari Simbuang sering menghadiri acara-acara penting yang diadakan di Sawitto. Beberapa tetua di Pinrang yang menjadi narasumber peneliti mengungkapkan, kedatangan mereka selalu disambut dengan penuh hormat, sebagaimana layaknya nene' disambut oleh cucu (appo). Demikian juga tidak jarang orang dari Sawitto dan sekitarnya mengunjungi Simbuang. Salah satu falsafah Sawitto juga menggambarkan hubungan erat tersebut, berbunyi: iyapa na madeceng tanae sawitto siruntupi matanna na  wanuae, matanna ri simbuang iya kiya wanuanna ri sawitto. Tetapi sekarang, narasi kekerabatan tersebut mulai tergusur dan kemungkinan besar akan hilang di kalangan orang-orang Sawitto. Ada gap antara narasi ‘tua’ yang masih menghubungkan asal-usul mereka sebagai keturunan dari Simbuang dengan identifikasi oleh generasi terkini. Situasinya terbalik dengan di Simbuang, dimana frase Nene' Simbuang, Appo Sawitto dikenal secara umum. Sayangnya, Druce tidak pernah sampai ke Simbuang melakukan penelitian karena fokus di Ajattaparreng.

Hubungan dengan Sa’dan didukung oleh sebuah erong yang berbentuk kerbau yang terletak di kampung Lekke’, sekitar 3 km dari Simbuang Batu Tallu.  Orang Simbuang menyebutkan bahwa erong tersebut adalah kerbau milik orang Sa’dan. Dengan kekuatan magic peti mati dari kayu tersebut dibuat berjalan dari Sa’dan ke Simbuang. Mengenai Sa'dan mana yang dimaksud, terdapat dua versi. Sebagian besar orang Simbuang meyakini bahwa Sa'dan tersebut adalah daerah Sa'dan di Kabupaten Toraja Utara, sementara Druce memperkirakan Sa'dan yang dimaksud adalah sebuah wilayah yang bernama Ulu Saddang di Pinrang bagian utara.

Druce juga memperkirakan bahwa Perjanjian Batu Tallu terjadi pada masa-masa dimana Kadatuan Sawitto sedang berada dalam masa keemasan sebelum ditaklukkan oleh Gowa; dan karenanya juga sebelum era Arung Palakka (abad 17, baca: Legenda To Pada Tindo: Invasi Arung Palakka (Raja Bone) ke Toraja). Kepala Onderafdeling (Controleur) Makale pada zaman kolonial Belanda bernama HT Lanting menyebutkan, sesungguhnya ada delapan daerah yang mengadakan pertemuan di Simbuang pada saat itu: Simbuang, Saddang (Sa'dan?), Mamasa, Rante Bulawan, Sawitto, Gallang-kallang, Balanipa dan Matangnga.


Wilayah yang ikut dalam Basse Batu Tallu:




***

In the past, the people of eight lands gathered in Simbuang. These lands were Simbuang, Saddang, Mamasa, Rante Bulawan, Sawitto, Gallang-kallang, Balanipa and Matangnga. These eight made an agreement concerning war and defense. Each of the lands chose a title for themselves, which reflected their position.
Sawitto
called itself
datu (ruler); Rante Bulawan named itself patawa mana (the divider of things); Mamasa called itself limbong kalua' and would aid people in times of need; Gallang-kallang took the name eran bulan (the golden messenger) and would take news to Sawitto; Matangnga took the name tikana titing karu and would take news to the other in the event of war. Simbuang declared itself nene' (grandparent/ancestor), because it was regarded as the elder of the group.
Sawitto was opposed to Simbuang being called
nene', but Simbuang provided proof of its superior wisdom and cleverness and eventually Sawitto conceded.


- H.T. Lanting, Kontrolir Belanda -
The title chosen by Simbuang and Sawitto in this tradition, nene' and datu, serve to set out their respective position in the above alliance as the two most prominent settlements. The title datu reflects the fact that Sawitto was the more powerful of the group while the title nene' conveys Simbuang's precedence over Sawitto and the six other members of the alliance by way of being older. That Sawitto first challenges but eventually acknowledges Simbuang's position as the elder in this alliance appears to symbolize power acceding to age and ancestry.

- Stpehen C. Druce -
ise’na  sawitto  engkai ri ada’e,  ise’na  ada’e  angakai  ri pangkaurannge, ise’na pangkaurannge engkai ri alabbirannge, ise’na  alabbirannge enkai ri decennge, ise’na decennge engkai ri tau mapparentae, ise’na to mapparentae engkai ri pabbanuae,  ise’na pabbanuae engkai ri wanuae, ise’na wanuae engkai ri sawi busesae, ise’na buasesae engkai ri pammasena dewatae, ise’na dewatae engakai tettong ri lampue, sanre ri tongangnge, tudang ri tana paccingnge, macalinrung ri pada-padannge, mappake pute kinnong-kinnong mangasa ri batue, tuo tammate, mate mo masannannge matepi dua tellu masssola-solae, rabba sipatokkong, mali siparappe, malilu sipakainga, iyapa na madeceng tanae sawitto siruntupi matanna na  wanuae, matanna ri simbuang iya kiya wanuanna ri sawitto

- falsafah Sawitto -




Kamis, 17 September 2015

Aylan, Aylan...

Unknown
Ketika engkau bertemu Tuhan, Aylan,
mintalah supaya malapetaka datang atas mereka yang telah mempermain2kan dan memporakporandakan bangsamu dari balik layar.
Mereka  yang telah membawamu pada kematian.
Hidup ini tak adil jika harus memanjaatkan doa bagi keselamatan mereka.

Sabtu, 12 September 2015

Kartini: Pikiran Adalah Puisi

Unknown

Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni
Tapi mana bisa ada seni tanpa puisi? 
Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, 
pendeknya segala yang indah dalam hidup ini, adalah puisi!
Kartini

Rabu, 02 September 2015

Rombongan Pelayat Kena 'Tilang Peniti' Pak Polisi

Unknown


Kejadian bermula ketika sebuah rombongan dari Toraja bermaksud pergi melayat kerabat mereka di Masamba pada hari Rabu, 12 Februari 2014. Dengan berkendaraan sepeda motor, sekitar pukul 13.45, mereka melintasi daerah Lebang, jalan poros Toraja – Palopo. Mereka ditahan oleh empat orang polisi berseragam lengkap. Setelah memeriksa surat-surat, yang ternyata lengkap, mereka mulai memeriksa ‘kelengkapan lainnya’. Diantaranya adalah asesoris kendaraan seperti kaca spion, tutup pentil, stiker, apakah membawa ban dalam cadangan, dan seterusnya. 


postingan populer :