Senin, 31 Agustus 2015

Legenda To Pada Tindo: Invasi Arung Palakka (Raja Bone) ke Toraja (Bag. I)

Unknown





Legenda perang To Pada Tindo adalah kisah tentang perlawanan orang-orang Toraja terhadap invasi Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka. Kerajaan Bone mengklaim kemenangan dan penaklukkan atas Toraja pada saat itu, yang dianggap sebagai penaklukkan terakhir di seluruh daerah Sulawesi bagian selatan. Tetapi tradisi lisan orang Toraja mengklaim sebaliknya, mereka-lah yang menang, Arung Palakka dipaksa mundur (dihalau) dari Toraja. 

Memandang Dari Barat Toraja: SIMBUANG

Unknown


Simbuang adalah salah satu daerah di bagian barat Toraja yang berbatasan dengan Pinrang dan Mamasa. Jarak tempuh dari Makale bisa memakan waktu satu hari, apalagi kalau musim hujan.  Selain Hard-Top, kendaraan roda empat (mobil) lainnya hampir mustahil bisa sampai di Simbuang. Sebenarnya, Simbuang adalah nama salah satu kampung yang juga biasa dikenal sebagai Simbuang Tua atau Simbuang Batu Tallu. Selain Simbuang, banyak kampung lain yang tersebar di sekitarnya seperti Sima, Paun, Lekke’, Sarang Dena, Buttao dan lain sebagainya. Namun, semua orang yang berasal dari daerah-daerah tersebut dikenal atau memperkenalkan diri sebagai orang Simbuang. Apalagi, nama Simbuang diambil sebagai nama kecamatan yang meliputi semua kampung-kampung tersebut. Sekalipun letaknya cukup terpencil pada masa kini, tetapi Simbuang memiliki sejarah yang panjang. Simbuang terlibat aktif dalam dinamika sosial politik yang terjadi di dataran tinggi sejak masa-masa pra kolonial, masa kolonial dan masa-masa awal kemerdekaan. 


Dalam tulisan ini, saya ingin membagi cerita tentang Simbuang berdasarkan pengalaman perjalanan saya ke sana (tahun 2011 dan 2013), mengumpulkan cerita demi cerita, mengunjungi beberapa situs bersejarah dan menyaksikan perpaduan antara keindahan alam dan kehidupan masyarakat. Selama saya berada di Simbuang, saya merasa tidak sekedar menikmati keindahan alam, tetapi juga menikmati sejarah dan budaya salah satu kelompok masyarakat Toraja. Karena itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian: alam, masyarakat dan sejarah Simbuang. Tulisan ini awalnya hanyalah catatan biasa tentang perjalanan yang saya lakukan di Simbuang, tetapi kemudian saya lengkapi.

1. Keindahan Alam

Kampung-kampung di Simbuang tersebar di punggung-punggung pegunungan yang tidak terlalu tinggi. Pemandangan alamnya sangat beragam. Di bagian-bagian tertentu tampak tandus, berbatu-batu dan hanya ditumbuhi rerumputan. Di bagian lain terdapat hutan pinus. Yang paling spektakuler menurut saya adalah pemandangan sawah bertingkat-tingkat yang sangat luas. Sawah tersebut tampak seperti anak-anak tangga yang membentang dari bagian atas pegunungan sampai dekat sungai di bawahnya. Kita bisa membayangkan betapa indahnya pemandangan tersebut di setiap musim padi: mulai dari musim menanam, bertumbuh, apalagi pada musim panen padi. 


1000 tangga menuju surga. :-)
Pegunungan, sawah-bertingkat, hutan pinus, sungai; komplit!
Sungai Masupu mengalir di antara pegunungan, membelah kampung-kampung Simbuang yang tersebar di kedua sisi punggung pegunungan di atas sungai. Sungai tersebut berbatu-batu, mulai dari batuan-batuan kecil hingga batuan-batuan raksasa. Air yang mengalir cukup deras dan selalu keruh. Sekalipun belum pernah mencoba atau melihat orang melakukannya, saya membayangkan bahwa sungai tersebut akan menjadi tempat yang sangat tepat bagi olahraga arung jeram. Apalagi rutenya cukup panjang sebelum akhirnya bertemu dan menyatu dengan sungai Sa'dan yang turun dari pegunungan Toraja sampai ke Pinrang. 

Sungai Masupu membelah pegunungan di Simbuang.  
Di beberapa ceruk batu, goa atau liang yang tersebar di pinggiran sungai, terdapat puluhan makam tua. Orang-orang Simbuang pada umumnya sudah tidak mengenali lagi secara detail peti-peti tua yang tersebar di makam-makam yang sudah berumur ratusan tahun tersebut. Mereka hanya menyebutnya sebagai kayu matena to dolo (peti orang-orang dulu / leluhur). Ukurannya bervariasi, mulai dari ukuran biasa sampai ukuran yang sangat besar. Di dalam peti-peti tersebut, terdapat tulang-belulang manusia. Tetapi tidak sembarang waktu peti-peti bisa dibuka untuk dilihat isinya, hanya pada masa-masa setelah panen padi. Jika sedang mengolah sawah, apalagi kalau padi-padi sedang mulai berisi, maka pemali (tabu) untuk membuka peti mati karena dipercaya dapat menyebabkan bencana bagi tanaman padi (gagal panen).


2. Masyarakat




Kampung-kampung yang tersebar di Simbuang terbentuk dari rumah-rumah yang saling berdekatan. Sangat jarang ada rumah yang memiliki pekarangan sendiri yang luas, karena rumah-rumah tersebut tampak saling berdempetan. Dalam satu kampung biasanya terdiri atas puluhan rumah. Berjalan di tengah-tengah kampung adalah hal yang sangat menyenangkan karena kita bisa melihat banyak hal sekaligus. Rumah-rumah, aktivitas masyarakat seperti menenun, memberi makan ternak (babi, kerbau, ayam), menumbuk padi, dan berbagai aktivitas lainnya. 


Arsitektur rumah-rumah di setiap kampung terbagi dua, yaitu rumah tradisional Toraja (tongkonan) dan rumah panggung bergaya Bugis (banua Bugi’). Tongkonan di Simbuang agak berbeda dengan di Makale dan Rantepao: atap depan dan belakang agak rendah (tidak menjulang), bagian depan dan belakang melebar. Kabongo’ (patung kepala kerbau) diletakkan di tulak somba (pilar utama bagian depan) di antara tanduk-tanduk kerbau. Ruangan dalam terbagi atas tiga ruangan: ruangan depan berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus tempat tidur, ruang tengah sebagai tempat tidur keluarga, sedangkan bagian belakang adalah dapur. Pada bagian luar terdapat beranda, yang biasa digunakan untuk duduk-bercengkerama atau untuk menenun kain sarung. Di kolong rumah masih digunakan sebagai kandang kerbau pada malam hari. Jadi, fungsi tongkonan sebagai rumah tinggal benar-benar masih berjalan, tidak sekedar rumah adat tak berpenghuni yang hanya digunakan pada saat ritual pemakaman atau sekedar objek wisata.

Beranda tongkonan. Seperti berada di anjungan kapal.
Bagian belakang tongkonan menjadi tempat menumbuk padi.










Semua tongkonan di Simbuang menghadap ke arah Buttu Karua, sebuah gunung yang disakralkan oleh orang Simbuang. Dulu, bahan yang digunakan untuk atap tongkonan bervariasi, ada yang terbuat dari kayu, bambu, alang-alang dan atap seng. Tetapi sekarang kebanyakan sudah diganti dengan atap seng, hanya satu-dua yang masih menggunakan bahan alami. Ada salah satu tongkonan yang konon dibangun dengan hanya menggunakan bahan dari satu pohon yang sangat besar.

Bertani adalah pekerjaan utama orang Simbuang. Karena itulah kebudayaan orang Simbuang sangat berciri agraris. Contohnya seperti yang sudah saya singgung di atas tentang pemali membuka peti mati yang dikaitkan dengan musim pengolahan sawah (padi). Bentuk-bentuk pemali yang lain pasti selalu berkaitan erat dengan pekerjaan di sawah. Selain padi, juga ada kebun kopi dan coklat. Kopi dan coklat ditanam di areal yang tidak dapat diolah menjadi sawah.   


Kalau kita berjalan-jalan di tengah-tengah kampung pada pagi atau sore hari, maka kita akan mendengar suara lesung bertalu-talu karena para wanita sedang menumbuk padi. Saya tidak menemukan adanya mesin penggilingan padi di Simbuang, semua masih menggunakan cara tradisional. Padi-padi dipanen dengan menggunakan teknik pare kutu’, yakni memanen dengan hanya memotong / mengambil tangkai bulir padi, lalu disatukan dan diikat. Setelah terkumpul, padi tersebut akan dijemur sehingga tahan lama ketika disimpan di lumbung. Padi yang sudah disimpan di lumbung akan diambil sedikit demi sedikit (sesuai kebutuhan) untuk dijemur lagi sebelum akhirnya siap ditumbuk untuk memisahkan kulit dari isinya (beras). 
Menenun adalah pekerjaan sambilan yang dilakukan oleh para perempuan, terutama pada masa-masa setelah menanam dan sebelum panen, dimana banyak waktu senggang. Pekerjaan menenun biasanya dilakukan di beranda rumah. Kain tenun yang dihasilkan sangat berkualitas dan bervariasi. Memang, sarung tenun Simbuang sudah sangat terkenal, bahkan pernah menjadi oleh-oleh untuk istri Wakil Presiden Yusuf Kalla ketika diadakan acara Toraya Mamali’ tahun 2006.


Menurut seorang ibu, lama pekerjaan untuk satu sarung tergantung pada intensitas pengerjaannya: kalau dikerjakan secara serius setiap hari, bisa 1 bulan/sarung, tetapi kalau dikerjakan secara santai bisa sampai 3 bulan/sarung. Mereka pada umumnya membuat sarung untuk kebutuhan sendiri, yaitu untuk dipakai sehari-hari, diberikan kepada keluarga dekat yang datang berkunjung (sebagai oleh-oleh), dan lain sebagainya. Sekalipun tidak terlalu sering, biasanya mereka juga menenun jika ada yang mau beli atau jika ada yang memesan dari kota. Produksi hand-made (buatan tangan) dan sangat berkualitas seperti sarung Simbuang tersebut tentu tidak dapat dijual murah dong!
Di Simbuang, masih ada komunitas-komunitas penganut agama leluhur (Alukta / Aluk To Dolo). Menurut para orang-tua, komunitas Alukta memiliki banyak sekali ritual-ritual, mulai dari ritual selama mengolah sawah, membangun rumah, pemakaman, dan lain sebagainya. Sayangnya, saya tidak sempat mengikuti satupun dari ritual yang diadakan oleh mereka. Sekalipun demikian, saya sempat berkunjung pada sebuah kedukaan dimana seseorang baru saja meninggal. Keluarga yang berduka tersebut sudah Kristen. 


Yang menarik perhatian adalah jenazah yang dibaringkan di ruang tengah tersebut dibungkus dengan kain berlapis-lapis sehingga menjadi berbentuk silinder. Tradisi membungkus jenazah disebut mebalun. Sebagaimana umumnya orang Toraja, pemakaman belum bisa langsung ditentukan waktunya, karena menunggu anggota keluarga lainnya.



Kuda masih digunakan sebagai alat transportasi di Simbuang, terutama untuk mengangkut hasil bumi untuk dijual di pasar. Kuda-kuda tersebut tampak sudah terlatih untuk mengangkut barang melewati daerah yang bergunung-gunung. Pada musim setelah panen padi, kuda-kuda dan kerbau dilepas untuk mencari makan sendiri di sawah yang sudah dipanen. Di Simbuang Tua terdapat pemali naik kuda ketika melintasi kampung, orang harus turun dari kuda. Karena itu, kuda hanya bisa ditunggangi oleh manusia ketika di luar kampung.  Pada saat ini, fungsi kuda mulai digeser oleh motor. Pembangunan jalan yang menembus dan menghubungkan hampir semua kampung di Simbuang membuat motor tampak lebih efektif.  
3. Sejarah
Nah, bagian ketiga ini sedikit lebih serius dan mendalam, karena saya akan bicara sejarah. Sebenarnya masih banyak artefak dan cerita yang mengandung unsur historis di Simbuang, tetapi kali ini saya akan menuliskan sesuai dengan yang saya dapatkan saja selama saya di Simbuang.

Barangkali, Batu Tallu (harafiah: tiga batu) adalah situs sejarah terpenting yang dapat menjadi rujukan riil tentang kesejarahan orang Simbuang pada masa-masa pra-kolonial. Batu Tallu adalah nama sebuah artefak yang terletak di kampung Simbuang atau Simbuang Tua atau Simbuang Batu Tallu. Konon, ketiga batu adalah milik tiga daerah: Sa’dan, Sawitto (sebuah kerajaan di daerah Pinrang) dan Rante Bulawan (daerah di sekitaran Mamasa). Pada masa lalu, mereka mengadakan pertemuan di Simbuang.  Mereka datang dengan membawa batu dari daerahnya masing-masing untuk ditanam sebagai pengingat akan pertemuan yang mereka adakan, Basse Batu Tallu.

Ada dua versi yang saling terkait mengenai latar-belakang pertemuan tersebut: hubungan kekerabatan dan aliansi. Seorang tetua berujar, sirari bang pa tu mittu tondok (pada masa lampau, kampung-kampung saling berperang). Hubungan kekerabatan juga menjadi penyebab utama. Hubungan antara Sawitto dan Simbuang terungkap dalam frasa Nene’ Simbuang, Appo Sawitto. Salah satu falsafah Sawitto juga menggambarkan hubungan erat tersebut, berbunyi: iyapa na madeceng tanae sawitto siruntupi matanna na  wanuae, matanna ri Simbuang iya kiya wanuanna ri sawitto. Hubungan tersebut juga didukung oleh cerita tentang sebuah parang tanpa sarung, karena konon sarungnya berada di Sawitto. Orang Simbuang masih percaya bahwa dalam momen-momen tertentu, parang itu bisa berdiri sendiri dan gagangnya menghadap ke Sawitto. Ada beberapa versi sebutan untuk parang tersebut, tetapi yang paling umum ada dua: To Sawitto dan atau Tonapa. Parang tersebut sekarang berada di Banga', salah satu kampung di Simbuang.

Hasil penelitian Stephen C. Druce yang meneliti tentang sejarah Ajattaparreng membantu untuk memahami sejarah Batu Tallu tersebut. Dari pemaparannya tentang sejarah Kadatuan Sawitto, ia mendapatkan narasi tua orang Sawitto dan sekitarnya (sekarang Kabupaten Pinrang) yang mengatakan bahwa Sawitto didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Simbuang. Peneliti ini mengungkapkan bahwa hubungan kekerabatan terus berlanjut sampai tahun 1960-an. Orang-orang dari Simbuang sering menghadiri acara-acara penting yang diadakan di Sawitto. Beberapa tetua di Pinrang yang menjadi narasumber peneliti mengungkapkan, kedatangan mereka selalu disambut dengan penuh hormat, sebagaimana layaknya nene' disambut oleh cucu (appo). Demikian juga tidak jarang orang dari Sawitto dan sekitarnya mengunjungi Simbuang. Tetapi sekarang, narasi kekerabatan tersebut mulai tergusur dan kemungkinan besar akan hilang di kalangan orang-orang Sawitto. Ada gap antara narasi ‘tua’ yang masih menghubungkan asal-usul mereka sebagai keturunan dari Simbuang dengan identifikasi oleh generasi terkini. Situasinya terbalik dengan di Simbuang, dimana frase Nene' Simbuang, Appo Sawitto dikenal secara umum. Sayangnya, Druce tidak pernah sampai ke Simbuang melakukan penelitian karena fokus di Ajattaparreng.

Hubungan dengan Sa’dan didukung oleh sebuah kayu mate (peti mati) berbentuk kerbau yang terletak di kampung Lekke’, sekitar 3 km dari Simbuang Batu Tallu. Peti ini tergolong unik karena selain bentuknya yang persis menyerupai kerbau, mayat (tulang-belulang) diletakkan di dalam perut peti mati. Orang Simbuang menyebutkan bahwa kayu mate tersebut adalah milik orang Sa'dan. Dengan kekuatan magic peti mati dari kayu tersebut dibuat berjalan dari Sa’dan ke Simbuang. Mengenai Sa'dan mana yang dimaksud, terdapat dua versi. Sebagian besar orang Simbuang meyakini bahwa Sa'dan tersebut adalah daerah Sa'dan di Kabupaten Toraja Utara, sementara Druce memperkirakan Sa'dan yang dimaksud adalah sebuah wilayah yang bernama Ulu Saddang di Pinrang bagian utara.

Druce memperkirakan Perjanjian Batu Tallu terjadi pada masa-masa dimana Kadatuan Sawitto sedang berada dalam masa keemasan sebelum ditaklukkan oleh Gowa; dan karenanya juga sebelum era Arung Palakka (abad 17, baca: Legenda To Pada Tindo: Invasi Arung Palakka (Raja Bone) ke Toraja). 


Kepala Onderafdeling (Controleur) Makale pada zaman kolonial Belanda bernama HT Lanting menyebutkan, sesungguhnya ada delapan daerah yang mengadakan pertemuan di Simbuang pada saat itu: Simbuang, Saddang (Sa'dan?), Mamasa, Rante Bulawan, Sawitto, Gallang-kallang, Balanipa dan Matangnga. Mereka kemudian memilih 'gelarnya' masing-masing yang sesuai dengan peran dan kedudukan:



Sawitto called itself datu (ruler); Rante Bulawan named itself patawa mana (the divider of things); Mamasa called itself limbong kalua' and would aid people in times of need; Gallang-kallang took the name eran bulan (the golden messenger) and would take news to Sawitto; Matangnga took the name tikana titing karu and would take news to the other in the event of war. Simbuang declared itself nene' (grandparent/ancestor), because it was regarded as the elder of the group. (HT. Lanting)


Dengan memperhatikan pola kekerabatan yang berlaku, Druce memperkirakan bahwa Simbuang dipilih sebagai tempat pertemuan karena paling dituakan (diponene'). 

The title chosen by Simbuang and Sawitto in this tradition, nene' and datu, serve to set out their respective position in the above alliance as the two most prominent settlements. The title datu reflects the fact that Sawitto was the more powerful of the group while the title nene' conveys Simbuang's precedence over Sawitto and the six other members of the alliance by way of being older. That Sawitto first challenges but eventually acknowledges Simbuang's position as the elder in this alliance appears to symbolize power acceding to age and ancestry. (Stephen C. Druce)



Gereja Toraja Jemaat Sima, Simbuang
Situs sejarah lainnya adalah sebuah bangunan Gereja Toraja yang terletak di Sima, sekitar 3 km dari Simbuang Batu Tallu. Gereja ini dibangun pada zaman Belanda. Menurut orang-orang tua di Simbuang, pembangunan Gereja tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Kristen yang jumlahnya masih sangat sedikit pada masa tersebut, melainkan dibangun secara gotong-royong oleh hampir semua penduduk yang berdatangan dari berbagai kampung. Sebagian besar dari mereka adalah penganut agama suku (Aluk To Dolo). Gereja tersebut dibangun dengan mengikuti arsitektur rumah Toraja (Tongkonan) tetapi dengan tambahan yang menyerupai menara kecil di tengah-tengah bubungan. Di puncaknya terdapat patung ayamDulunya, ada dua bangunan Gereja peninggalan Belanda dengan arsitektur seperti ini, yang satunya lagi di Sangalla'. Tetapi yang di Sangalla' sudah dibongkar dan dibangun dengan arsitektur modern, sehingga Gereja Sima ini menjadi satu-satunya yang masih bertahan.

Pada bagian atas pintu utama di depan, terdapat sebuah papan bertuliskan SONDANA ERAN DILANGI', DITOENTOEN LAN TE BANUA. Kemungkinan besar, kalimat tersebut terinspirasi dari cerita rakyat Toraja yang bercerita tentang tangga-langit (eran dilangi') yang menghubungkan antara Puang Matua (Ilah Pencipta) dengan manusia. Karena kesalahan fatal, yakni pernikahan diantara saudara (i) kandung, Puang Matua murka dan merobohkan tangga-langit tersebut sehingga hubungan dengan manusia terputus. Mungkin, tulisan di pintu Gereja dimaksudkan bahwa melalui Gereja tersebut, akan diperkenalkan/diajarkan tentang 'pengganti tangga-langit' (sondana eran dilangi') yang roboh tersebut, yakni Yesus Kristus. Dalam kepercayaan Kristen, hubungan antara manusia dan Allah yang terputus karena dosa Adam dan Hawa dipulihkan kembali melalui pengorbanan Yesus di Kayu Salib. 

********


Foto-foto lainnya:
Kampung Rea, Simbuang
Arah rumah yang serupa / sama.
Sarung tenun Simbuang.
Tongkonan yang masih berfungsi sebagai rumah-tinggal
Salah satu Tongkonan tua di Simbuang Batu Tallu
Seteko kopi di pagi hari. :-)
Wow, lebat...
Kolong rumah tempat menyimpan kerbau di malam hari.
Babi sekeluarga di 'rumahnya' yang nyaman. :-)
Mesra, romantis, reproduksi. :-)
Kawanan kerbau dan kawanan kuda, akur!!!
Peti mati yang sangat besar.
Salah satu makam tua di pinggir sungai. Mulai rusak.

Bukan Mayat Berjalan: Dekat Dengan Leluhur Melalui Ritual Ma'nene di Toraja

Unknown

Seorang pemuda sedang memegang 
jenazah keluarganya yang sudah jadi mummi. 
(dok. pribadi)
torajabercerita - Apa jadinya kalau anda berjalan di tengah-tengah peti-peti mati yang diletakkan berjejer dan dalam keadaan terbuka, sementara mayat-mayat yang sebagian besar masih utuh terbaring di peti tersebut? Kalau di dalam film-film, mungkin ini akan jadi menyeramkan. Apalagi kalau ditambah dengan musik dan visualisasi yang bikin bulu kuduk merinding. Tetapi di beberapa kampung di Toraja, ini adalah hal yang biasa, momen tahunan.

Ya, di Pangala' dan Baruppu', hampir setiap tahun kita dapat menjumpai ritual Ma'nene. Waktu tempuh dari Rantepao ke Pangala' sekitar 2 jam, sementara Baruppu lebih jauh lagi. Ritual ini dilakukan pada bulan-bulan tertentu setiap tahun. Setiap kampung bisa berbeda soal waktu pelaksanaan. Di kampung Lempo Poton (Pangala'), ritual berlangsung bulan Agustus, seperti yang diposting oleh Malni di facebook miliknya, Malni Fitri Matasak

Ritual yang sempat saya ikuti di kampung yang berbeda berlangsung di bulan September, 2014. Menurut warga setempat, Ma'nene di kampung mereka memang biasanya berlangsung setiap bulan September.

Pagi-pagi, masing-masing rumpun keluarga datang ke Patane, yakni kuburan keluarga yang dibangun seperti rumah dengan ukuran agak kecil. (Tradisi pemakaman Toraja pada masa lalu  tidak menanam mayat anggota keluarga di dalam tanah, melainkan meletakkan mayat di dalam liang batu yang dipahat atau di goa-goa alam. Pada masa sekarang, tradisi tersebut semakin bergeser ke bentuk Patane). Mereka mengeluarkan peti-peti dari dalam Patane lalu diletakkan berjejer di depan makam. Setelah itu, semua peti dibuka dan mayat-mayat yang berada di dalam peti dikeluarkan untuk dijemur, dibersihkan, diganti pakaiannya, dan seterusnya. Banyak di antara mayat-mayat tersebut yang tinggal tulang-belulang, tetapi tidak sedikit juga yang masih utuh alias jadi mummi walaupun telah berpuluh atau ratusan tahun dimakamkan.
dok. pribadi
Ketika mengikuti ritual tersebut, imej seram tentang orang-orang yang sudah mati seakan sirna. Yang kita jumpai justeru suara orang tertawa, sesekali berteriak aihihi... (teriakan khas Toraja). Tidak ada rasa takut berjalan-jalan di antara peti-peti mati dan berbaur dengan mayat-mayat. Bahkan mayat-mayat tersebut diajak bercakap-cakap oleh anggota keluarganya, seakan-akan mereka masih mendengar apa yang disampaikan. Seorang ibu berbicara kepada salah satu jenazah saudaranya: tontong komi tiro-tiro tu bati'mi dikka, tu male mambela dio lu padangna tau. Ammu benni dalle'  (tetaplah memberi perhatian kepada keturunanmu, yang pergi jauh merantau ke tanah orang. Berikanlah mereka rejeki). Saya sempat bercakap-cakap dengan salah seorang yang sedang membersihkan mayat keluarganya. Dengan penuh semangat dia menjelaskan bahwa mayat tersebut adalah Kakeknya, seorang tentara yang sangat pemberani dan disegani pada masa aktif bertugas. Di bagian peti lain, seorang ibu sedang berusaha meminta cincin emas dari jari yang dipakai oleh kerabatnya yang telah jadi mummi. Ia tidak benar-benar hendak mengambil cincin tersebut, tetapi dia yakin bahwa kerabatnya yang telah meninggal itu akan memberikan cincin emas 'dengan cara lain'. Seorang bapak, sambil memegang salah satu mummi, memberi penjelasan panjang lebar kepada keluarga mereka yang lain tentang siapa mummi tersebut. Beberapa orang muda yang datang dari Kendari (Sulawesi Tenggara) tampak mendengar dengan serius, karena mereka ternyata adalah keturunan dari mummi tersebut.
11895978_1040461902630741_7613236487891358005_n
Ma'nene Agustus 2015 di Lempo Poton, Pangala.
(dok. Malni Fitri Matasak)


Setelah dirasa cukup, mayat-mayat yang sudah dibersihkan dan diganti pakaiannya dimasukkan kembali ke dalam peti. Peti-peti tersebut kemudian dikembalikan ke dalam Patane. Setelah itu, semua orang yang hadir wajib untuk ke Tongkonan (rumah adat) rumpun keluarga untuk ibadah (sekarang versi Kristen). Adalah pemali (tabu) kalau langsung berpisah-pisah setelah dari kuburan. Beberapa orang laki-laki sibuk ma'piong bai, memasak daging babi yang dimasukkan di dalam bambu lalu dibakar. Para perempuan sibuk di dapur mempersiapkan kebutuhan makan siang bersama. Beberapa pemuda datang membawa jerigen berisi ballo (tuak). Lengkaplah sudah! Setelah semuanya siap, ibadah dilakukan dan dilanjutkan dengan makan siang bersama. Setelah makan siang, rumpun keluarga tersebut mengobrol sampai sore sambil minum tuak.

Begitulah. Dengan mengikuti ritual Ma'nene, kita menjumpai hubungan yang tetap akrab antara orang yang masih hidup dan keluarga mereka yang sudah meninggal. Keseluruhan rangkaian ritual seakan menegaskan kembali ikatan kekerabatan di antara mereka. Ritual tersebut juga menjadi ajang melepaskan rindu, memperkenalkan leluhur kepada generasi terkini, utamanya cucu-cicit yang datang dari luar Toraja. Ritual ini diturunkan dari kepercayaan leluhur orang Toraja. Untuk landasan religius tersebut, saya belum menggali informasi yang memadai. Tetapi, secara umum, budaya orang Toraja sangat menghormati ikatan kekerabatan; ikatan kekerabatan tersebut terus menerus dipertahankan, tidak hanya terhadap sesama kerabat yang masih hidup, tetapi juga dengan leluhur yang sudah meninggal.
Konversi ke agama Kristen tidak membuat ritual ini hilang melainkan hanya mengalami beberapa perubahan. Bahkan, ibadah yang dilakukan di Tongkonan setelah orang-orang pulang dari makam dipimpin oleh pejabat gereja (Majelis atau Pendeta). Gereja di Toraja, khususnya Gereja Toraja (Protestan) dan Gereja Katolik cenderung akomodatif dengan kebudayaan Toraja. Selain itu, Tongkonan menjadi payung yang mempersatukan keragaman keyakinan religius orang-orang Toraja dalam sebuah rumpun kekerabatan. Karena itu, Tongkonan tidak sekedar sebagai rumah adat, tetapi memiliki fungsi sosial yang sangat kuat bagi orang Toraja. Demikian juga dengan makam keluarga, tidak sekedar tempat meletakkan jenazah, tetapi merupakan Tongkonan tang merambu (harafiah: tongkonan tidak berasap).
Akrab bersama yang sudah meninggal
(dok. pribadi)

Ada banyak informasi yang 'menyesatkan' atau sekedar dilebih-lebihkan tentang ritual ini, terutama melalui internet. Yang paling fenomenal adalah ketika tradisi ini dikait-kaitkan dengan tradisi mayat berjalan di Toraja. Kalau kita googling di internet, maka kita akan menemukan sejumlah berita yang menyesatkan tersebut. Seorang kawan pernah menunjukkan sebuah foro mummi Toraja dalam posisi berdiri karena baru saja diganti pakaiannya; kawan saya mengira bahwa  itu mayat berjalan karena foto tersebut diambil dari sebuah surat-kabar on-line, yang memberi judul mayat berjalan dalam beritanya tentang ma'neneSimak saja berita yang diturunkan oleh media sekelas Liputan 6: Tradisi Mayat Berjalan di Tana Toraja. Walaupun narasinya sendiri dibuat mengambang alias tidak menjelaskan secara detail tentang 'mayat berjalan', tetapi berita tersebut memberikan judul yang sensasional, tetapi jauh melenceng dari maksud ritual itu sendiri. Juga di: liputan 6 Bertemu Mayat Berjalan di Tradisi Ma'nene Tana Toraja. Saya hanya bisa menggelengkan kepala, untuk media yang sudah punya nama seperti itu harus memanipulasi berita untuk menarik perhatian. Sayang sekali! Karena itulah, saya memberi judul 'Bukan Mayat Berjalan' pada artikel ini, untuk sekedar meluruskan informasi-informasi yang keliru tentang ritual ma'nene. Menurut saya, manipulasi berita tersebut berpotensi untuk membuat kesalah-pahaman pembaca tentang ma'nene. Masih banyak hal-hal lebih penting yang mendasari ritual ma'nene, yang semestinya diangkat.
Kisah tentang mayat berjalan, atau tepatnya kemampuan orang Toraja membuat mayat bisa berjalan sendiri, memang dikenal secara umum di Toraja. Kisah tersebut terdapat di Baruppu dan wilayah barat Toraja (Bua Kayu, Simbuang, Mamasa, dlsb). Konon pada masa lalu, perang-perang antar kampung sering terjadi. Ketika kampung-kampung tertentu menyerang kampung lain, orang-orang yang mati kesulitan untuk dibawa pulang ke kampung untuk dimakamkan karena alam Toraja yang sebagian besar adalah pegunungan, sehingga lahirlah magic menjalankan mayat. Situasi alam dan kebiasaan orang Toraja yang sebisa mungkin setiap orang harus dimakamkan di kampungnya turut mendorong lahirnya magic tersebut. Saya sendiri tidak pernah menyaksikan secara langsung, hanya mendengar cerita di masyarakat. Dan kalaupun memang pernah terjadi pada masa lampau, sepertinya sudah mustahil untuk disaksikan pada masa kini alias sudah tidak berlanjut.
Foto-foto Ma'nene di Lempo Poton, Pangala', bulan Agustus 2015 (diposting atas izin pemilik, Malni FM):

 








Untuk informasi budaya Toraja lebih lanjut, silahkan mengakses:
www.torajabercerita.com


postingan populer :