Selasa, 30 Desember 2014

Refleksi: Novel Landorundun

Unknown



Pertama kali saya mengetahui tentang adanya sebuah novel yang berjudul Landorundun melalui facebook; melalui diskusi-diskusi di salah satu grup facebook komunitas Toraja. Saat itu, gairah saya untuk membaca novel tersebut langsung membara. Mengapa? Setahu saya inilah novel 'modern' pertama dari Toraja!!! Saya langsung ke Gramedia (Yogyakarta), mencari di katalog, dan benar, ada judul novel Landorundun. Tetapi sayangnya ­stock-nya kosong.... Melalui facebook saya mengetahui siapa penulisnya: Rampa Maega, sebuah nama yang sangat unik, bahkan sempat chatting dengan beliau. Saya menemukan novel tersebut secara tidak langsung justru ketika pulang ke Toraja pada pertengahan 2012, dalam sebuah acara di sebuah hotel; bahkan bertemu langsung dengan sang penulis yang ternyata masih muda. Tanpa banyak basa-basi, walau dengan kantong tipis, saya langsung membeli novel tersebut dan meminta tanda tangan penulis. 

Dalam hal ini, kebanggaan, terharu, dan kegembiraan yang luar biasa dalam diri saya telah mendahului isi novel tersebut:  saya gembira luar biasa jauh sebelum saya membaca novel tersebut. Sebagai orang yang sedang jatuh cinta pada sastra, khususnya pada novel, lahirnya sebuah novel dari Toraja seperti hujan di siang bolong alias sama sekali tidak saya duga. Selama ini, dunia sastra di Toraja hampir sama dengan apa yang tersebar tak beraturan di Toraja dewasa ini: kuburan. Dari perbincangan-perbincangan tentang sastra yang sangat sayup-sayup dalam masyarakat Toraja, saya bisa sedikit menangkap dan berani menyimpulkan bahwa sebagian besar orang Toraja menganggap sastra sebatas pada ucapan-ucapan To Minaa dan berbagai hal yang serupa dengan itu.

Dalam catatan sejarah, sastra adalah salah satu komponen terpenting. Orang dapat mengetahui mengenai kebudayaan Yunani yang menjadi fondasi peradaban Barat melalui karya-karya sastra, salah satunya melalui Homerus dalam The Iliad yang mengisahkan mengenai Perang Troya. Dari India, salah satu epos yang sangat dikagumi adalah kisah perang Baratayudha, perang saudara antara kelompok Pandawa dan Kurawa dalam Mahabbarata. Isi Mahabbarata sangat berpengaruh pada kebudayaan Jawa. Bahkan, seorang misionaris Belanda utusan Nederlandsch Bijbelgenootschap (Lembaga Alkitab Belanda) bernama Dr. B.F. Matthes pada masa kolonialisme telah memboyong salah satu maha-karya sastra yang berasal dari Sulawesi, I La Galigo. Sekarang tersimpan di Leiden, Negeri Belanda. Naskah I La Galigo adalah naskah yang sangat penting bagi sejarah Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan masa lalu. Singkatnya, sastra telah memberikan harta yang tak ternilai dalam perjalanan peradaban manusia, karena melalui karya-karya sastra orang dapat membaca ‘jejak’ masa lampau. Berhadapan dengan karya-karya sastra yang “wah..” seperti itu, kita mungkin akan merasa “kecil”. Tetapi, dari beberapa kawan saya yang dari latar-belakang sastra dan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan, ternyata sastra tidak hanya terkait dengan karya-karya “besar” saja. Berpuisi, menulis cerpen, menulis novel, dll, adalah dunia sastra, yang sebagian besar bisa dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. 

Kembali kepada Novel Landorundun. Saya tidak akan membicarakannya dengan metode-metode kritik sastra yang cakupannya begitu luas, yang seperti filsafat bagaikan sebuah 'rimba-raya' teori. Sementara saya hanyalah orang baru yang tidak memiliki 'kompas' di tangan di tengah rimba-raya kritik sastra tersebut. Tetapi yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah ini akan menjadi momentum kebangkitan sastra di Toraja, yang selalu berbangga sekaligus 'resah' dengan budayanya? Seberapa jauh sastra memiliki peluang untuk hidup di tengah-tengah masyarakat Toraja? Seberapa penting sastra untuk 'hidup' di Toraja? Dua pertanyaan awal akan terjawab oleh waktu, sementara pertanyaan ketiga adalah pertanyaan yang krusial yang mendasari pertanyaan pertama dan kedua. 


Ya, seberapa penting sastra itu bagi orang Toraja? Ketika membaca Novel Landorundun, saya menemukan “cermin” masyarakat Toraja sekarang, yang tidak sepenuhnya 'tradisional' tetapi juga tidak sepenuhnya 'modern'. Ada sisi-sisi dimana ketika dicermati akan membuat identitas 'ketorajaan' yang tampak stabil menjadi goyah. Misalnya, dalam diri Kinaa Landorundun: apakah ketorajaan itu berdasarkan keturunan darah-daging atau budaya yang dihidupi? Walaupun Kinaa mewarisi darah Toraja dari ayahnya, tetapi ia lahir dan besar di luar Sulawesi. Ketika ia ke Toraja, ia adalah 'orang asing': wajah bule (dari ibu), tinggal di hotel, sangat minim pengetahuan tentang Toraja, dll. Atau Ayah Kinaa, yang tidak mau pulang-kampung karena 'sesuatu dan lain hal' yang telah terjadi ketika masih di kampung. Bukankah ini cerminan dari yang me(di)namakan diri 'orang Toraja', yang konon berjumlah sekitar 2.000.000 orang, dan hanya sekitar 600.000 yang berada di wilayah Toraja? Dengan kata lain, melalui novel, sang penulis sedang membicarakan tentang realitas sosial, bahkan kita bisa menemukan di beberapa bagian tertentu: kritik sosial!!!

Disadari atau tidak, masyarakat Toraja, khususnya yang berada di Toraja sedang berada dalam ritme budaya yang cukup cepat dan terus berubah. Orang tidak bisa lagi mengandalkan 'cara lama' dalam pusaran masyarakat yang begitu tidak menentu. Bukankah kita telah melihat robohnya 'cara lama' dalam ritual yang paling fenomenal dari Toraja yakni rambu solo’ dan semua upaya untuk mengembalikannya justru menghasilkan bentuk-bentuk baru? Bukankah banyak orang Toraja terperangah atas kehadiran 'predator' yang menjadi salah satu tanda goyahnya tatanan moralitas ortodoks? Lalu banyak orang 'megap-megap', hanya bisa mengelus dada dan mengatakan “o indo’ ku le...”.           

Masyarakat Toraja sebagai subyek aktif kebudayaan berada dalam ketegangan-ketegangan yang telah, sedang dan akan terus menciptakan 'identitas-identitas' baru. Novel Landorundun telah membuka sebuah gerbang baru bagi kita.



Salama'....


NB: Ditulis pada tanggal 3 Januari 2013. Pernah dipublikasikan di Toraja Cyber News.


Jumat, 26 Desember 2014

Ketika 'Mereka' Menyambut Natal...

Unknown

NATAL ITU NIKMAT...


Ini hanya untuk humor-humoran dan ini cerita tentang Natal, tepatnya detik-detik menjelang Natal, tanggal 24 Desember tengah malam, menjelang tanggal 25 Desember. Di hampir setiap sudut dunia, entah melalui televisi, radio,dll terdengar lagu-lagu Natal. Berbagai bentuk perayaan Natal pun terjadi: di Barat orang main salju, di Timur (sebagian besar, tapi tidak seluruhnya) juga ingin salju-saljuan, tapi karena tidak ada salju, orang pakai kapas yang ditabur di sekitar pohon Natal, ‘seakan-akan’ itu salju. Pohon Natal mulai dari kelas teri yang bisa dibeli dengan recehan sampai yang kelas kakap yang hanya bisa dibeli tunai pakai dolar (karena kalau mau pakai rupiah tunai, kantong tidak bisa menampung, efek inflasi) bersinar kerlap-kerlip.  Pokoknya ramai, cetar membahana badai....

Tapi, sekelompok orang sedang gelisah, dan memang mereka orang yang suka gelisah. Semua hal didiskusikan, digelisahkan, digerayangi. Natal pun juga demikian. Dalam sebuah ruang yang sempit mereka mendiskusikan kegelisahannya.
Ayo kita intip mereka:

Leela Gandhi   :

Yesus, awalnya lahir di Timur, di Asia!!! Tetapi hampir semua perayaan tentang kelahirannya sarat dengan budaya Barat. Bukankah ini sebuah paradoks dalam hubungan Timur dan Barat, Tuan-tuan? Bahkan orang-orang Timur ikut-ikutan merayakan kelahiran Yesus versi  narasi Barat: Santa Clause-lah, pohon Natal-lah, lagu-lagu Natal yang serba Barat-lah.... Inilah akibat kolonialisme... Bikin sakit kepala saja....

Foucalut           :

Walaupun kami ini masuk golongan “Barat”, tapi benar sekali itu, Nona Leela, dan relasi kekuasaan itu mengalami persebaran melalui institusi-institusi: mulai dari perusahaan kaset, televisi, radio, dll, bahkan melalui Gereja. Gereja bahkan bisa menjadi Panopticon: kalau Pendeta tahu bahwa saya, misalnya, tidak datang Natalan di Gereja, kan rasanya gimana gitu....

Derrida            :

Memang menyedihkan semua itu Tuan-tuan dan Nona Leela. Benar-benar sebuah oposisi biner!!! Ini harus didekonstruksi!!!

Nietzsche         :

Yang parahnya, mereka menganggap bahwa itu adalah kelahiran Tuhan, Tuhan yang berinkarnasi menjadi manusia. Padahal kan Tuhan sudah mati... dan yang membunuhnya ya mereka-mereka juga, ya kita, manusia...!!! Bagaimana mungkin masih merayakannya.... Aneh!!!

Marx                :

begini, sebenarnya, mereka tidak tahu semua itu, bahwa di balik ideologi Natal yang mendunia tersebut, tersembunyi kepentingan-kepentingan tertentu. Benar-benar sebuah kesadaran palsu!!! Saya juga stres memikirkannya. Ujung-ujungnya yang diuntungkan kan ya pemilik modal, pemilik alat produksi. Contohnya saja, tetangga saya yang kerja di pabrik kaset. Bayangkan coba, bulan ini, dia mengerjakan banyak sekali kaset Natal, kalau di jual nilainya Rp. 2.500.000, tapi semua itu untuk perusahaan. Lalu dia digaji Rp. 300.000, jadi dia menghasilkan nilai-lebih sejumlah Rp. 2.000.000. Sebenarnya Rp. 2.200.000, tapi yang Rp. 200.000 itu anggaplah ongkos penjualan dan perawatan alat produksi. Sederhananya, dia dieksploitasi sebanyak Rp. 2.000.000....  Lebih parahnya lagi, gajinya yang cuma seadanya itu diserahkan ke istrinya untuk belanja Natal di ‘pasar’, termasuk membeli kaset yang dia buat sendiri di pabrik. Apa ini tidak keterlaluan...?? Ya, tapi dia senang-senang aja, yang penting bisa Natalan katanya... dia benar-benar tidak tahu bahwa dia dan semua karyawan pabrik sedang dieksploitasi. Padahal, sekali mereka semua bersatu, berhenti kerja misalnya, maka saya jamin perusahaan kaset itu gulung tikar, dan si bos ‘lengser keprabon’ dari statusnya sebagai juragan kaset....

Zizek               :

Tuan Marx yang terhormat, mereka bukannya tidak tahu, mereka sangat tahu!!! Tapi mereka tetap melakukannya. Itu bukan karena kesadaran palsu Tuan, tetapi ada kenikmatan yang disediakan oleh perayaan Natal itu. Kemarin saya diskusikan itu dengan Tuan Lacan, bukan begitu Tuan Lacan?

Lacan               :

ya, benar... persoalannya bukan pada mereka tahu atau tidak, seperti yang sering Tuan Zizek katakan: bukan pada “knowing”, karena jelas mereka sangat tahu. Persoalannya ada pada, kenapa mereka tetap melakukannya, pada “doing”, walaupun mereka tahu semua persoalan yang sudah tuan-tuan ungkapkan. Ya itu tadi yang dikatakan Tuan Zizek, ada kenikmatan, atau semacam fantasi ideologis. Atau apalah namanya....

Leela Gandhi   : ya, tapi kan ... (terputus karena kegaduhan di luar)


Tiba-tiba sirine tanda Natal telah tiba berbunyi dan orang mulai ramai berteriak-teriak kegirangan sambil main petasan. Mereka semua, orang-orang yang suka gelisah ini, serentak melirik jam dinding: pukul 00.01 a.m.

Sejenak mereka terdiam, saling memandang, dan tanpa dikomando mereka berhamburan keluar. Marx dan Zizek langsung ke penjual petasan, membeli banyak sekali petasan dan meledakkannya ke udara sambil jingkrak-jingkrak kegirangan. Waktu duitnya yang memang cuma sedikit di kantong habis, Marx berlari ke rumah sahabatnya,Engels, dan pinjam uang untuk beli petasan lagi. Leela Gandhi berlari-lari kecil menuju rumahnya, dan memeriksa tempat sepatu, waw, dia dapat kado dari Santa Clause!!! Ia menangis, bahagia sekali. Bagaimana tidak, Santa Clause datang jauh-jauh dan memberinya hadiah. Sementara Derrida dan Foucault langsung menuju lapangan, dimana orang ramai berkumpul, berdansa sambil diiringi lagu ‘Wonderful Christmas Time’ yang dinyanyikan oleh Hillary Duff, ‘O Holy Night’ yang dinyanyikan Mariah Carey, ‘Step Into Christmas, oleh Elton John, dan lagu-lagu Natal lainnya yang semua dinyanyikan oleh penyanyi kenamaan dunia asal Eropa dan Amerika (bagian Serikat!!!). Mereka berdua, Derrida dan Foucault, pun langsung saling berangkulan, membentuk irama dansa, dan... ehem...ehem...., mesra sekali... Lacan langsung menuju kampus, tempat ia biasa mengajar, tapi kali ini bukan untuk mengajar, melainkan minum bir Guinness dan beberapa botol Jack Daniels bersama para mahasiswanya..... Nietzsche lansung mengambil tongkatnya dan masuk ke dalam sebuah goa. Ia menyalakan beberapa lilin, lalu memutar lagu ‘Silent Night dari Smartphone BlackBerry 8520, yang merupakan hadiah Natal tahun lalu dari Salome (waktu itu mereka belum putus). Ia lalu duduk bersila, bermeditasi.... Oh, damainya....

Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 10.00 a.m., tanggal 25 Desember, ibadah Natal berlangsung dengan sangat khidmat di Gereja yang terletak di pusat kota. Tahu tidak, yang memimpin ibadah ternyata bukan pendeta, tapi filsuf: G.W.F. Hegel!!! Dia berkhotbah tentang peristiwa Natal mirip dengan Fenomenologi Roh, bahasa Torajanya: Die Phanomenologie des Geistes!!! Tak perlu dibahas di sini tentang isi khotbahnya itu, karena dijamin bikin pusing... ada alineasi, ada kesadaran inderawi, ada Roh Absolut, ada dialektika: tesis, antitesis, sintesis, ada kategori realitas, nichts, Werden, Begriff, bla...bla...bla...   Mereka semua, orang-orang yang suka gelisah itu, duduk paling depan; semua pakai kemeja yang masih baru, kecuali Zizek yang pakai kaos oblong. Hanya Marx dan Nietzsche yang tidak tampak. Marx: tangannya masih sakit karena semalam kena petasan, tapi yang utama karena dia sudah tidak punya uang untuk ongkos becak ke Gereja dan untuk persembahan. Juga ia musuhan dengan Hegel. Karena itulah ia tidak datang ke Gereja pagi ini, rencananya ibadahnya nanti sore, dijemput pakai mobil oleh Engels dan Feuerbach, sekalian mau pinjam uang lagi untuk persembahan Natal dan beli kado buat anak dan istrinya, dan juga kado buat... ehem... pembantunya!!. Sementara Nietzsche sebenarnya paling cepat datang, tapi karena ia ‘datang terlalu pagi’, ia balik lagi ke goa, dan, meditasi lagi....


Natal yang sangat mengesankan, dan sangat ideologis....


Yogyakarta, subuh,  23 Desember 2012...

NATAL: Dari Main Barattung ke Main Petasan, Antara Bakar Kemenyan dan Bakar Kembang Api

Unknown

Sebuah refleksi



Waktu saya kecil, saya tinggal di sebuah dusun. Menjelang Desember adalah masa-masa dimana kami bersiap-siap untuk mencari sekutu untuk membentuk sebuah tim. Ya, perangbarattung sudah dekat. Untuk membuat sebuah barattung, tidak mungkin kami bekerja sendiri: menebang bambu, memotong-motong, melubangi, menyiapkan berbagai keperluan. Sekutu-sekutu segera tercipta, yang juga akan disusul dengan pertengkaran-pertengkaran a la anak kecil dan bisa berujung pada pecah kongsi. Tetapi begitulah, kami mengorganisir diri untuk sebuah ‘perang’, perang barattung.  Para orang-tua selalu terlibat: memberikan recehan untuk beli minyak tanah, atau mesti rela [walaupun dengan sedikit omelan] ketika anak-anak ‘mencuri’ persediaan minyak tanah dari dapur.

Saya meninggalkan kampung untuk beberapa keperluan, terutama untuk sekolah. Hampir setiap Natal saya pulang, dan saya mengamati bahwa perayaan semakin lama semakin berubah. Perang barattung semakin terkikis, diganti perang baru yang lebih ‘modern’: perang petasan dan kembang api. Ini memang lebih ramai dan menakjubkan: langit menjadi berwarna-warni, untuk yang ukuran besar ledakkannya sangat keras. Dan yang paling utama, sangat mudah didapatkan. Tidak perlu membentuk tim seperti pada masa perang barattung, cukup dengan uang di kantong yang ditukar dengan petasan dan kembang api di penjual-penjual yang semakin menjamur menjelang dan pada masa Desember. Beli, ledakkan, beli lagi, ledakkan lagi, beli lagi, ledakkan lagi... Ah, mudah sekali. Dan saya mulanya takjub, betapa indahnya. Lama kelamaan rasa takjub saya berubah menjadi keresahan, dan untuk itulah saya menulis tulisan singkat ini.
Ada beberapa perubahan yang saya rasakan.

Pertama, semaraknya kembang api dan petasan membuat orang larut dalam kegembiraan yang semakin menjelma menjadi sebuah histeria. Akibatnya, kesederhanaan Natal yang inheren di dalam peristiwa kelahiran Yesus semakin terkubur. Dengan jelas kita dapat membaca situasi Natal perdana: penderitaan Yusuf dan Maria ketika Maria sudah pecah ketuban sementara penginapan tak kunjung ditemukan. Lalu siapa yang pertama-tama merasakan hikmat Natal itu? Tidak lain dan tak bukan adalah orang-orang ‘pinggiran’ dan orang asing: para gembala dan orang asing [peziarah Majus].

Kedua, semua menjadi serba instan. Pada masa perang barattung, anak-anak kecil sudah harus membiasakan diri untuk bekerja-sama, belajar bagaimana menjalankan sebuah tim yang tidak hanya mengandalkan kekuatan uang. Demikian juga dalam membuat pohon Natal, orang-orang harus bekerja-sama dengan memanfaatkan bahan-bahan ‘mentah’ yang ada untuk diracik menjadi sebuah pohon Natal. Orang tidak bergantung pada ‘pasar’ yang menyediakan pohon Natal yang instan yang cukup ditukar dengan uang. Semua yang serba mudah dan serba instan memang telah menjadi salah satu ‘keunggulan’ masyarakat modern, yang tanpa sadar menggerus mentalitas manusianya.

Keresahan ini bukan-lah sebuah sindrom romantisme masa lalu. Bagaimanapun, perangbarattung kalaupun masih bisa dilakukan sekarang oleh anak-anak sudah akan berbeda dengan pada masa lalu. Minyak tanah semakin langka akibat mudahnya mendapatkan gas 3 kg. Pohon bambu semakin tinggi nilai ekonomisnya karena semakin seringnya ritualrambu solo’ secara besar-besaran yang menghabiskan banyak batang bambu. Keresahan dalam tulisan ini terutama sekali lahir dari hingar-bingarnya suasana Natal itu sendiri, dengan tanda kembang api dan petasan yang paling menonjol. Kepekaan sosial semakin luntur. Saya beberapa kali melihat maupun mendengar petasan atau kembang api yang dahsyat di Toraja, berharga ratusan ribu, bahkan [konon] ada yang sampai jutaan! Bukankah sebagian besar para pekerja kasar mesti menghabiskan waktunya selama sebulan demi mendapatkan gaji yang setara dengan harga kembang api seperti itu? Mengapa orang-orang tidak segan untuk membakarnya dalam sekejap saja di tengah ramainya tuntutan untuk menaikkan upah minimum regional (UMR)? Demi memenuhi hasrat berlabel sukacita Natal? Ataukah sebuah histeria akibat tidak ada lagi waktu untuk merenungkan kembali Natal perdana yang dirayakan setiap tahun itu?

Malam Kudus Sunyi Senyap itu sesungguhnya sudah tidak ada di Toraja, selain dalam kidung indah yang dinyanyikan. Lalu bagaimana? Mungkin saja, kita bisa menggunakan salah satu persembahan orang Majus: kemenyan. Mungkin kita bisa mencoba tradisi membakar ‘kemenyan’ yang lebih menimbulkan suasana sunyi-senyap nan sakral-sederhana itu, untuk menggantikan hingar-bingar aktivitas membakar petasan dan kembang-api. Atau ritual apa saja yang bisa membuat orang benar-benar mendekatkan diri pada sang Ilahi, sekaligus tidak melunturkan kepekaan sosial kita. Sebagai perbandingan, sewaktu mendaki ke Gunung Merapi, saya pernah secara tidak sengaja ‘terjebak’ dalam sebuah perayaan 1 Syuro di sebuah desa di kaki Merapi. Ketika kami melintasi kampung, tepat tengah malam [sekitar pukul 24.00], kami dihentikan oleh warga yang berjaga karena ada ritual yang sedang berlangsung. Seluruh lampu dipadamkan, tidak diperbolehkan menimbulkan kegaduhan. Kemenyan dibakar dimana-mana, asapnya yang berpadu dengan kesunyian menimbulkan aroma yang benar-benar membuat suasana menjadi sakral. Iringan gamelan yang sayup-sayuo terdengar memaksa siapapun, termasuk kami yang bukan warga kampung untuk merenung.

Sepertinya memang kita perlu mengevaluasi kembali cara kita merayakan Natal.

Selamat Natal. Gloria in Excelcis Deo....

Jogja, 25 Desember 2013 pukul 15:18

postingan populer :