Setelah dirasa cukup, mayat-mayat yang sudah dibersihkan dan diganti pakaiannya dimasukkan kembali ke dalam peti. Peti-peti tersebut kemudian dikembalikan ke dalam Patane. Setelah itu, semua orang yang hadir wajib untuk ke Tongkonan (rumah adat) rumpun keluarga untuk ibadah (sekarang versi Kristen). Adalah pemali (tabu) kalau langsung berpisah-pisah setelah dari kuburan. Beberapa orang laki-laki sibuk ma'piong bai, memasak daging babi yang dimasukkan di dalam bambu lalu dibakar. Para perempuan sibuk di dapur mempersiapkan kebutuhan makan siang bersama. Beberapa pemuda datang membawa jerigen berisi ballo (tuak). Lengkaplah sudah! Setelah semuanya siap, ibadah dilakukan dan dilanjutkan dengan makan siang bersama. Setelah makan siang, rumpun keluarga tersebut mengobrol sampai sore sambil minum tuak.
Begitulah. Dengan mengikuti ritual Ma'nene, kita menjumpai hubungan yang tetap akrab antara orang yang masih hidup dan keluarga mereka yang sudah meninggal. Keseluruhan rangkaian ritual seakan menegaskan kembali ikatan kekerabatan di antara mereka. Ritual tersebut juga menjadi ajang melepaskan rindu, memperkenalkan leluhur kepada generasi terkini, utamanya cucu-cicit yang datang dari luar Toraja. Ritual ini diturunkan dari kepercayaan leluhur orang Toraja. Untuk landasan religius tersebut, saya belum menggali informasi yang memadai. Tetapi, secara umum, budaya orang Toraja sangat menghormati ikatan kekerabatan; ikatan kekerabatan tersebut terus menerus dipertahankan, tidak hanya terhadap sesama kerabat yang masih hidup, tetapi juga dengan leluhur yang sudah meninggal.
Konversi ke agama Kristen tidak membuat ritual ini hilang melainkan hanya mengalami beberapa perubahan. Bahkan, ibadah yang dilakukan di Tongkonan setelah orang-orang pulang dari makam dipimpin oleh pejabat gereja (Majelis atau Pendeta). Gereja di Toraja, khususnya Gereja Toraja (Protestan) dan Gereja Katolik cenderung akomodatif dengan kebudayaan Toraja. Selain itu, Tongkonan menjadi payung yang mempersatukan keragaman keyakinan religius orang-orang Toraja dalam sebuah rumpun kekerabatan. Karena itu, Tongkonan tidak sekedar sebagai rumah adat, tetapi memiliki fungsi sosial yang sangat kuat bagi orang Toraja. Demikian juga dengan makam keluarga, tidak sekedar tempat meletakkan jenazah, tetapi merupakan Tongkonan tang merambu (harafiah: tongkonan tidak berasap).
 |
Akrab bersama yang sudah meninggal
(dok. pribadi) |
Ada banyak informasi yang 'menyesatkan' atau sekedar dilebih-lebihkan tentang ritual ini, terutama melalui internet. Yang paling fenomenal adalah ketika tradisi ini dikait-kaitkan dengan tradisi mayat berjalan di Toraja. Kalau kita googling di internet, maka kita akan menemukan sejumlah berita yang menyesatkan tersebut. Seorang kawan pernah menunjukkan sebuah foro mummi Toraja dalam posisi berdiri karena baru saja diganti pakaiannya; kawan saya mengira bahwa itu mayat berjalan karena foto tersebut diambil dari sebuah surat-kabar on-line, yang memberi judul mayat berjalan dalam beritanya tentang ma'nene. Simak saja berita yang diturunkan oleh media sekelas Liputan 6: Tradisi Mayat Berjalan di Tana Toraja. Walaupun narasinya sendiri dibuat mengambang alias tidak menjelaskan secara detail tentang 'mayat berjalan', tetapi berita tersebut memberikan judul yang sensasional, tetapi jauh melenceng dari maksud ritual itu sendiri. Juga di: liputan 6 Bertemu Mayat Berjalan di Tradisi Ma'nene Tana Toraja. Saya hanya bisa menggelengkan kepala, untuk media yang sudah punya nama seperti itu harus memanipulasi berita untuk menarik perhatian. Sayang sekali! Karena itulah, saya memberi judul 'Bukan Mayat Berjalan' pada artikel ini, untuk sekedar meluruskan informasi-informasi yang keliru tentang ritual ma'nene. Menurut saya, manipulasi berita tersebut berpotensi untuk membuat kesalah-pahaman pembaca tentang ma'nene. Masih banyak hal-hal lebih penting yang mendasari ritual ma'nene, yang semestinya diangkat.
Kisah tentang mayat berjalan, atau tepatnya kemampuan orang Toraja membuat mayat bisa berjalan sendiri, memang dikenal secara umum di Toraja. Kisah tersebut terdapat di Baruppu dan wilayah barat Toraja (Bua Kayu, Simbuang, Mamasa, dlsb). Konon pada masa lalu, perang-perang antar kampung sering terjadi. Ketika kampung-kampung tertentu menyerang kampung lain, orang-orang yang mati kesulitan untuk dibawa pulang ke kampung untuk dimakamkan karena alam Toraja yang sebagian besar adalah pegunungan, sehingga lahirlah magic menjalankan mayat. Situasi alam dan kebiasaan orang Toraja yang sebisa mungkin setiap orang harus dimakamkan di kampungnya turut mendorong lahirnya magic tersebut. Saya sendiri tidak pernah menyaksikan secara langsung, hanya mendengar cerita di masyarakat. Dan kalaupun memang pernah terjadi pada masa lampau, sepertinya sudah mustahil untuk disaksikan pada masa kini alias sudah tidak berlanjut.
Foto-foto Ma'nene di Lempo Poton, Pangala', bulan Agustus 2015 (diposting atas izin pemilik, Malni FM):