3
Semuanya serba baru...
Matahari
perlahan-lahan mulai menenggelamkan diri di kaki langit ketika kami menaiki auto[1]
yang akan membawa kami ke stasiun kereta api. Hanya adik laki-laki tertuaku
yang ikut mengantar. Papa sebenarnya mau mengantar sampai ke Genoa, tetapi ia
kuatir dengan kesehatan Mama. Mama kurang sehat.
Auto mulai bergerak perlahan
meninggalkan pekarangan rumahku. Aku melambaikan tangan sekali lagi kepada
keluarga, sahabat-sahabat dan beberapa tetangga yang melepaskan kepergian kami.
Masih sempat kulihat Papa melambaikan tangan kanannya sambil tangan kirinya
merangkul Mama. Mama terus melambaikan tangan, dan sesekali mengusap
airmatanya. Adik-adikku juga melambaikan tangan. Sahabat-sahabatku juga. Tetanggaku
juga. Semuanya melambaikan tangan, menambah beratnya perpisahan sore ini.
Selamat tinggal kalian semua, aku
akan kembali enam tahun lagi, saat cuti pertama Anton. Dan aku akan menggendong
cucu kalian, Papa, Mama ketika memasuki pekarangan ini lagi nanti. Kalian
adik-adikku, kalian akan menjadi paman dari keponakan-keponakan kalian
nanti.... Dan para sahabatku, kita akan bertemu sebagai Nyonya-nyonya nantinya,
saat kalian semua juga sudah berkeluarga. Nanti, ya, nanti, enam tahun lagi.
Begitu aku berharap, tetapi semua tergantung sang waktu, karena masa yang akan
datang adalah misteri bagi manusia sampai sang manusia menjalaninya....
Mereka semakin menjauh. Ketika tak
dapat lagi kulihat mereka, aku mengalihkan pandang ke sisi kiri jalan. Auto berjalan lambat, seakan sang supir
mengerti beratnya perpisahan ini. Anton mendekapku dan kubenamkan kepalaku
dalam rangkulannya. Adikku duduk di samping sopir. Auto terus bergerak, menuju stasiun Kereta Api “Maas” di Rotterdam.
“Enam tahun lagi kita akan kembali
ke sini, Lieve[2]”.
Anton mencium ubun-ubunku.
“Iya sayang, bersama anak-anak kita”.
Aku masih menenggelamkan kepalaku dalam rangkulannya.
Ketika auto telah sampai di stasiun, kami segera turun. Sekarang giliran
sahabat-sahabat Anton di sekolah misi yang mengucapkan salam perpisahan.
Sebagian dari mereka juga sedang bersiap-siap berangkat ke daerah misi yang
berbeda dengan Anton. Beberapa pengurus lembaga misi yang mengutus Anton juga
datang.
“Selamat menempuh perjalanan, Tuan
Anton. Anda akan senang berada di sana, Mevrouw Ida. Tuan Anton akan menjadi
suami yang baik, bukan begitu Tuan?” Tuan Beekenkamp menyapa kami. Anton hanya
tersenyum. Tuan Beekenkamp adalah Pendeta sekaligus sekretaris Gereformeerde Zendingsbond (GZB), badan
misi yaang mengutus kami.
“Terima kasih Tuan”.
“Kami sudah mengirim surat ke sana.
Kalau perjalanan lancar, kalian akan tiba di sana awal Oktober. Tuan dan Nyonya
Adriani akan menjemput kalian di Batavia. Dia akan mengatur perjalanan kalian
selanjutnya”.
“Terima kasih Tuan”
“Semoga Tuhan memberkati kalian
berdua, dengan limpah dan rahmat. Sering-seringlah menulis surat”. Tuan
Beekenkamp mengucapkan salam perpisahan sambil menjabat tangan kami, ketika
kereta akan segera berangkat.
“Terima kasih Tuan”.
Semua penumpang mulai naik ke
kereta. Kami berpamitan dengan teman-teman Anton. Setelah Anton menunjukkan kaartjis pada petugas stasiun, kami bertiga menuju salah satu
gerbong. Barang-barang kami telah diangkut ke kereta. Kami memilih salah satu tempat
duduk di antara deretena tempat duduk dalam gerbong. Aku duduk di tepi jendela.
Anton di sebelahku, dan di sebelahnya lagi, adikku.
Kereta api mulai bergerak menuju.
Asap mengepul ke udara dari pipa gerbong. Ular besi yang panjang ini adalah
salah satu keajaiban otak manusia modern. Sebentar lagi akan menjadi kendaraan
yang umum di seluruh dunia, pikirku.
Sebuah perjalanan panjang baru
saja aku mulai. Sekali lagi mataku terus terpaku ke luar jendela. Aku ingin
menyampaikan salam perpisahan pada Rotterdam. Anton, yang seakan paham yang aku
rasakan hanya mendekapku dan tidak banyak bicara. Aku, bagaikan seekor
kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong. Rotterdam adalah kepompongku selama
ini. Aku meninggalkan semua kenyamanan rumah, anak perempuan satu-satunya di
keluarga berada, menuju tempat yang sangat jauh, beda bangsa, beda budaya. Dag Rotterdam.
“Pemerintah Hindia-Belanda di
sana telah memberikan jaminan keamanan kepada para misionaris”, begitu kata
Anton ketika Mama bertanya tentang keamanan di sana. Ia berhasil meyakinkan
orangtuaku, terutama Mama yang selalu mengkhawatirkanku.
Setelah meninggalkan Rotterdam,
kami melewati begitu banyak daerah. Kami menyusuri Sungai Rhine yang indah,
deretan pegunungan, lembah, kebun anggur. Kami singgah di Heidelberg untuk
melewatkan hari Minggu terakhir kami di Eropa. Tetapi kami tidak dapat
mengikuti ibadah Minggu karena sulit menemukan gereja di sini. Orang-orangnya
sebagian besar sudah tidak percaya lagi kepada Tuhan.
Dari Heidelberg kami melanjutkan
dengan kereta yang menuju Genoa, Italia. Ketika melewati Swiss, aku takjub
dengan keindahan yang silih berganti di sepanjang jalan. Kami melihat kawasan
salju abadi dan padang rumput tempat sapi-sapi merumput di lereng Pegunungan
Alpin yang terkenal itu. Kami juga melewati banyak sekali terowongan kereta api
di atas perbukitan yang sangat panjang dan berkelok-kelok.
Kami tiba di Genoa sore hari.
Dari sini, besok sore kami akan naik kapal ke Batavia.
Kami menyewa dua kamar di sebuah
penginapan, satu untuk aku dan Anton, dan satu untuk adikku. Setelah makan
malam, kami bertiga mengobrol sebentar sebelum akhirnya masing-masing jatuh
tertidur karena perjalanan yang melelahkan.
Keesokan harinya, kami masih
sempat jalan-jalan di sekitar kota Genoa sebelum naik kapal yang akan membawa
kami ke Batavia. Kota ini unik, dengan bangunan-bangunan eksotik. Tapi
sayangnya kebersihan tidak terlalu diperhatikan.
Sore hari, kami menuju pelabuhan.
Sebuah kapal besar yang sedang bersandar tampak mulai ramai dengan orang-orang
yang naik ke atasnya. Dua tiang besar menjulang di depan dan belakang kapal. Di
antara kedua tiang itu, berdiri cerobong asap yang berasal batu bara di ruang
mesin kapal. Geladak kapal ramai oleh orang yang akan berangkat dan keluarga
yang mengantar mereka. Pada salah satu bagian di dinding kapal tertulis “VONDEL”.
Inilah kapal yang akan membawa kami ke Batavia. Kepala awak kapal menyambut
kami dengan sopan. Ia menugaskan seorang anak buahnya untuk mengantar kami ke
kabin. Adikku menunggu di geladak.
Aku memperhatikan awak yang
mengantar kami; ia berbaju putih dan tanpa alas kaki. Ia bukan orang Eropa,
rambutnya hitam dicukur pendek, badannya pendek, hidungnya pesek dan kulitnya
kecoklatan. Aku memperkirakan dia orang dari Hindia-Belanda. Ciri-ciri fisiknya
mirip orang-orang Jawa dan Melayu yang tersebar di Leiden, Rotterdam, dan beberapa
daerah di Nederland.
“Ini kamar Tuan dan Nyonya.
Silahkan Tuan, silahkan Mevrouw”
“Terima kasih”
Setelah
meletakkan barang-barang, kami kembali ke geladak untuk menemui adikku. Bel
kapal berbunyi sebagai tanda penggilan makan siang. Kami bertiga menuju ruang
makan kapal dan bergabung dengan salah satu kelompok penumpang di sebuah meja
makan yang cukup besar. Kami mulai mendapatkan kenalan-kenalan baru dari meja
makan ini, sekaligus kesulitan baru: bahasa. Ada yang menggunakan bahasa
Jerman, Prancis, Inggris, dan lain sebagainya. Kami hanya mengerti
sepotong-sepotong.
Sekelompok pelayan yang berpakaian
rapi menyediakan peralatan makan. Aku perhatikan mereka, ciri-ciri fisiknya
menunjukkan mereka orang dari Hindia.
“Orang-orang Jawa”. Anton berbisik
padaku seakan tahu apa yang aku pikirkan.
Sekelompok lagi menyediakan
hidangan. Setelah semuanya siap, mereka mundur beberapa langkah di belakang
para penumpang kapal, menunggu perintah.
Dari semua yang ada di meja makan
itu, hanya kami yang mengucapkan terima kasih setiap kali mereka selesai
melayani kami. Anton memimpin kami bertiga untuk berdoa makan. Ya, hanya kami
bertiga yang berdoa. Para penumpang yang lain menatap kami dengan tatapan aneh.
Eropa memang sedang dilanda keangkuhan sejak virus Aufklarung menyebar kemana-mana. Virus yang membuat orang beragama
seakan-akan adalah orang-orang kolot.
Waktu makan siang telah selesai. Kami
menuju geladak. Kapal sepertinya akan segera berangkat. Para pengantar
diberitahukan agar segera turun. Rasa haru mulai menyerang aku lagi,
membayangkan daratan Eropa sebentar lagi kami tinggalkan. Air mataku kembali
jatuh ketika aku memeluk adikku. Ia juga meneteskan air mata. Berat baginya
untuk melepas kakaknya, saudara perempuan satu-satunya untuk berlayar ke negeri
seberang. Anton yang terlihat tegar sejak dari Rotterdam pun tak kuasa menahan
air matanya ketika kapal mulai bergerak meninggalkan pelabuhan. Aku dan Anton
melambaikan tangan pada adikku. Ia berdiri di tepi dermaga, melambaikan tangan.
Dag adikku, dag Eropa.....
Ketika daratan semakin menjauh
dan pelabuhan tak tampak lagi, kami masih berdiri di geladak. Semua seperti
mimpi. Kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong ini baru belajar untuk
menguatkan sayap rapuhnya untuk terbang ke tempat-tempat yang baru. Aku memeluk
Anton dan ia mencium ubun-ubunku.
*********
15
September 1913
Setelah
berhari-hari di tengah laut, kapal akhirnya merapat di Port Said. Dalam
pelayaran, kami sempat melihat keindahan Gunung Stromboli yang terus menerus
mengeluarkan larva dari kawahnya. Kami juga telah melewati Selat Messina[3].
Menurut Anton, Messina adalah salah satu tempat yang penting bagi orang Islam
selain Mekkah. Ai..ai.. aku telah melewati lautan tempat kapal yang ditumpangi
Rasul Paulus karam. Momen itu kami manfaatkan untuk membahas panjang lebar
Rasul mulia itu, rasul penjelajah lautan.
Kami juga melewati bagian Selatan
Pulau Kreta yang tandus pada hari Minggu.
“Pulau ini sekarang dihuni oleh
setengah orang-orang Yunani yang Kristen dan setengah orang-orang Turki yang
Islam. Ketegangan terus menerus terjadi di sana. Inggris juga ikut campur.
Bagaimanapun, Inggris punya kepentingan dengan pulau itu”.
Anton memang banyak tahu. Dia
orang yang serius belajar. Waktu-waktu luang di kapal ia gunakan untuk membaca
dan menulis surat untuk GZB. Dalam suratnya, ia mencatat hal-hal penting di
pelayaran. Di Port Said, surat itu akan diposkan ke Nederland. Ia juga orang
yang pandai bergaul. Hanya dalam beberapa jam di atas kapal, ia telah akrab
dengan kapten kapal. Ini tentu memudahkan aktivitas kami di atas kapal. Atas
izin kapten kapal, kami berdiskusi dan beribadah singkat dengan serdadu-serdadu
Belanda yang di kirim ke Hindia. Kapten kapal bahkan meminta Anton, untuk
memimpin ibadah Minggu di kapal sepanjang pelayaran sampai ke Batavia nanti.
Anton menyanggupi. Kami juga selalu mempunyai waktu untuk berdua. Kami membahas
Firman Tuhan setiap malam sebelum tidur. Kalau cuaca cukup baik, kami
jalan-jalan di geladak.
Jarum horloge[4]
menunjukkan jam 11 malam. Port Said adalah pelabuhan pertama yang kami singgahi.
Kapal akan mengisi pasokan batu bara dan beberapa muatan yang perlu. Banyak
sekali perahu dayung yang dikemudikan oleh orang-orang Arab merapat ke kapal
untuk menjemput penumpang yang akan turun. Semua penumpang turun dari kapal,
tidak tahan dengan debu hitam yang beterbangan ke atas kapal dari batu bara
yang sedang dimuat di lambung kapal.
Kami menaiki salah satu perahu
dayung kecil tersebut bersama beberapa orang. Seorang Arab nampak lincah
mendayung perahu itu ke tepi dermaga. Dari lentera perahu aku dapat melihat dia
dengan jelas. Rambutnya keriting, badannya tinggi besar dan kulitnya hitam. Ia
mengenakan jubah putih, pakaian khas orang-orang Arab. Kami naik ke darat setelah
Anton membayar ongkos perahu 60 sen untuk kami berdua. Hop... dengan sekali
lompatan kecil, kami menginjakkan kaki di tanah Arab! Kupu-kupu ini sekarang
tidak hanya terbang berputar di pekarangan Eropa, tetapi telah menyeberang jauh
dan akan lebih jauh lagi.
Kami diserbu oleh banyak orang
dengan macam-macam tawaran: dagangan, tenaga pemandu, penginapan,dan lain-lain.
“Nee,
nee...”[5].
Anton dan aku berkali-kali mengucapkan penolakan karena mereka seakan memaksa.
Dalam bahasa Belanda tentunya, sekalipun mereka mungkin tidak paham. Aku dan
Anton sama-sama tidak tahu sedikitpun bahasa Arab.
Mereka masih terus mengikuti
untuk beberapa lama. Satu-per-satu mulai beralih ke penumpang lain yang baru tiba
setelah kami sama sekali tidak merespon. Sungguh lain tabiat orang di sini.
Tidak pernah kami temui yang seperti ini di Nederland. Rencana untuk
mengunjungi kampung Arab kami batalkan. Anton mem-pos-kan suratnya melalui jasa
pos di pelabuhan. Setelah bosan mengelilingi pertokoan di sekitar pelabuhan,
kami mencari tempat duduk di sebuah kafe sekedar untuk berisitirahat.
Seorang laki-laki Arab lainnya
mendekati kami. Ia membawa beberapa benda di tangannya. Anton mulai gusar.
Bahkan sampai di kafe pun masih ada yang mengikuti!! Aku sudah mempersiapkan
bahasa isyarat untuk menolaknya. Tapi...
“Lihat, lihatlah ini”. Ia berbahasa
Belanda sambil menggerakkan sebuah kain di tangannya. Ternyata ia pesulap. Aku
dan Anton berpandangan.
“Tuan bisa bahasa Belanda?” Anton
bertanya.
“Sedikit Tuan”. Ia masih bergerak-gerak
memainkan trik-trik sulap. Kain di tangannya tiba-tiba hilang dan dengan
jentikkan jari ia sudah memegang setangkai mawar.
“Hebat bukan?”. Sepertinya ia fasih
bahasa Belanda.
“Tuan
dan Nyonya mau kemana? Hindia?”. Ia mencoba menebak. Anton mengangguk. Tentu ia
dapat menebak dengan tepat karena mengetahui kami orang Nederland. Setiap orang
Nederland yang lewat sini sudah hampir bisa dipastikan tujuannya adalah Hindia.
Lain dengan bangsa Eropa lainnya. Orang Prancis yang singgah di sini pasti akan
ke Madagascar, orang Inggris akan ke India atau Australia atau Singapura
atau.... “Milik” Inggris memang paling luas. Dunia telah dibagi-bagi oleh dan
untuk Eropa.
“Ada urusan apa Tuan? Tuan pejabat?
Saudagar? Ingenieur[6]?”
Hampir saja aku menjawab bahwa kami
misionaris kalau saja Anton tidak menatap aku dengan isyarat untuk tidak
mengatakan apa-apa. Orang-orang Arab pada umumnya tidak menyukai orang Eropa.
Dampak Perang Salib.
Melihat kami tidak menjawab, ia
terus berceloteh.
“Berhati-hatilah di Hindia. Jangan
pikir orang-orang di sana senang dengan kalian, orang Nederland. Tampaknya saja
mereka patuh, tetapi sekali mereka melawan, nyawa pun mereka korbankan”.
Siapa orang ini? Dia sepertinya
banyak tahu tentang Hindia-Belanda. Aku membatin.
“Mereka orang-orang yang patuh pada
pemimpinnya, kepada para raja dan para pangerannya. Kalau sampai sekarang,
kalian orang Belanda masih berkuasa di sana, itu karena para pemimpinnya telah
kalian pegang. Tuan dan Nyonya pasti pernah dengar, bagaimana seorang Pangeran
di Jawa menggerakkan rakyatnya untuk melawan karena pemerintah telah merampas
tanah-tanah mereka. Bahkan di daerah yang tak jauh dari Jawa, seorang Raja
dengan gagah berani mempersenjatai mulai dari rakyatnya sampai anak-istrinya
untuk bertarung sampai mati menghadapi tentara kalian yang datang dengan bedil
dan meriam”.
Aku semakin penasaran. Ia tahu
tentang banyak tentang Hindia. Anton juga tentu sudah tahu semua itu. Hampir
semua orang yang pernah memasuki dunia kampus di Nederland sedikit banyak
pernah dengar tentang sejarah Hindia. Tapi orang ini, siapa orang ini?
“Sepertinya Tuan tahu banyak tentang
Hindia?”. Anton menimpali.
“Tujuan Tuan dan Nyonya mau kemana
di Hindia?”.
“Celebes”, Anton menjawab seadanya.
“Ujung selatan pulau itu adalah
daerah pelabuhan yang ramai. Sebuah kerajaan yang sangat kuat pernah berdiri di
situ. Tapi ditaklukkan oleh orang Belanda setelah melalui adu domba dan pertumpahan
darah”. Ia memandang kami dengan pandangan mencibir.
Aku mulai merasa tidak nyaman,
demikian juga dengan Anton. Mungkin orang ini berpikir Anton adalah salah satu controleur yang dikirim ke sana.
“Sebentar lagi, Hindia-Belanda
akan jadi rebutan. Jangan pikir hanya Eropa yang bisa perang pakai mesiu,
pesawat dan bom. Di seberang Eropa, kekuatan baru sedang bangkit Tuan. Amerika
Tuan, Amerika Serikat, Mevrouw!. Bahkan dari Asia pun bangsa Nippon telah mulai
berani menantang Eropa. Di seberang Nippon, bangsa raksasa sedang menggeliat
bangun. China, Tuan, Mevrouw. Hindia-Belanda akan jadi rebutan. Aku tidak yakin
Nederland akan mampu mempertahankanya”. Ia kembali melempar tatapan sinis
kepada kami.
Aku dan Anton sudah tidak dapat
menahan diri untuk segera meninggalkan orang ini sebelum ia semakin merendahkan
Nederland.
“Kapal kami sepertinya akan segera
berangkat. Kami harus kembali ke kapal”.
Anton memberikan beberapa sen
kepadanya dan kami beranjak meninggalkannya.
“Semoga perjalanan Tuan dan
Nyonya menyenangkan”. Ia mengikuti kami dengan pandangan mata.
“Dia banyak tahu tentang Hindia.
Siapa orang itu?”. Aku seperti bergumam pada diriku sendiri ketika kami sudah
agak jauh.
“Entahlah. Memang banyak orang
Arab yang tinggal di Hindia, terutama daerah pelabuhan dan kota-kota besar.
Pada umumnya pedagang. Mungkin dia salah satu pedagang yang bangkrut. Ada
begitu banyak kemungkinan, sayang. Yang pastinya dia pernah lama di Hindia.
Bahasa Belanda yang ia gunakan dipelajarinya di sana”.
Tentu Anton mengetahuinya dari
buku-buku atau catatan-catatan tentang Hindia. Dia pun belum pernah ke sana. Tapi
ia mampu menjelaskan beberapa daerah seakan-akan ia pernah mengunjunginya.
Hebat kau Anton, suamiku.... Aku memujinya dalam hati.
Dari Port Said, kapal kembali
berlayar. Petualangan panjang di lautan dimulai lagi. Kami melewati Terusan
Suez selama 15 jam. Terusan Suez dulunya adalah daratan yang digali untuk
menjadi jalur pelayaran yang mempersingkat pelayaran dari Eropa ke Asia.
Walaupun ukurannya tidak terlalu luas, tapi orang dapat menggali daratan
sepanjang itu? Hebat. Setelah berhenti sebentar di ujung Terusan Suez untuk
menaikkan penumpang, kami memasuki Teluk Suez yang sempit. Daratan di kiri dan
kanan dapat terlihat. Teluk inilah tempat Musa memimpin bangsa Israel
menyeberang menuju Kanaan. Teluk ini pula yang menenggelamkan bala tentara
Fira’un. Tuhan Mahakuasa....
Dari Terusan Suez, kami memasuki
Laut Merah. Sejak beberapa jam yang lalu, udara mulai terasa panas. Hampir
semua penumpang mengganti pakaian Eropa mereka yang tebal dengan pakaian yang
lebih tipis. Kami juga mengganti pakaian kami. Mama telah menjahitkan beberapa pakaian
iklim tropis untuk aku dan Anton.
Kami melewati selat Bab-el-Mandeb
yang sempit, lalu Teluk Aden seharian penuh, melewati Teluk Guardefui dan
memasuki Samudera Hindia yang agak bergelombang. Berkali-kali kapal
bergoncang-goncang dan kami mabuk laut.
Kami tiba di Colombo tanggal 27
September, pagi hari. Kapal akan berhenti cukup lama, paling kurang setengah
hari agar penumpang dapat bersantai di daratan setelah perjalanan panjang.
Colombo adalah salah satu daerah yang berada di ujung semenanjung Ceylon[7],
wilayah kekuasaan Inggris.
Dengan rickhsaw[8],
kami berkeliling Colombo. Kami
mengunjungi perkampungan Eropa yang tertata rapi, Pura Hindu dan sebuah Patung
Buddha yang besar. Di salah satu sudut kota, terdapat sebuah gereja tua, Gereja
Protestan belanda yang dibangun tahun 1749. Ceylon memang pernah menjadi
“milik” orang Nederland. Dalam keadaan begini, kami lebih mirip pelancong yang
sedang berbulan madu daripada sepasang misionaris. Kami mengunjungi beberapa
tempat yang dipengaruhi budaya India. Semua serba asing bagi kami. Setelah
dirasa cukup, kami kembali ke kapal.
Dari Colombo kapal menempuh
pelayaran yang cukup panjang sampai akhirnya memasuki perairan Hindia-Belanda.
Aku merasa sangat senang ketika kapal berlabuh di Pelabuhan Sabang milik
Hindia-Belanda. Aku bisa melihat bendera tiga warna negara kami berkibar di
pelabuhan: merah-putih-biru. Aku bangga....
“Selamat datang di
Hindia-Belanda, sayang”. Anton menyapaku seakan-akan ia sudah pernah ke sini.
Aku tersenyum dan merangkul suamiku.
“Mantan Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda yang lalu telah berjasa membangun pelabuhan ini. Van Heutsz
namanya, pernahkah kau mendengarnya, Lieve[9]?”
Aku mengangguk.
Dia memang cukup terkenal di
Nederland. Banyak orang memujinya karena berhasil memperkuat kedudukan
Nederland di sini dan memadamkan pemberontakan-pemberontakan besar selama
kepemimpinannya. Salah satunya adalah pemberontakan yang dilakukan oleh
masyarakat Aceh, daerah yang tidak terlalu jauh dari Sabang. Tetapi, tidak
sedikit juga yang mencela van Heutsz. Orang-orang Nederland yang sinis padanya
akan menjuluki dia sebagai pembantai.
“Beberapa tahun lalu bangsa
Nippon menuntut pulau ini bersama pelabuhannya. Tentu saja Tuan van Heutz
menolak”.
Kapal akan mengisi batu bara dan
berbagai kegiatan bongkar muat lainnya. Kami gunakan kesempatan ini untuk
berjalan-jalan di sekitar daerah tersebut. Inilah daratan Hindia-Belanda yang
pertama aku jejaki. Kami mengunjungi sebuah danau, menikmati kelapa muda dan
bersantai-santai di dermaga ketika sore hari. Kami juga sempat menyusuri
warung-warung milik orang-orang China dan inlander[10].
Bahasa yang mereka gunakan pada umumnya adalah bahasa Melayu. Anton telah
sedikit paham, karena ia telah mempelajarinya sebelum ke sini. Aku sama sekali
tidak paham.
Kapal kembali berlayar malam
hari. Dari Sabang, kapal sempat singgah sesaat di Singapura untuk menurunkan
dan menaikkan penumpang. Pelabuhan ini lebih ramai dari Sabang dan berada di
bawah kekuasaan Inggris.
“Dulunya, Singapura adalah tanah
tak bertuan. Pelaut-pelaut Bugis yang pertama membuka perkampungan di sini.
Letaknya yang strategis untuk pelayaran membuat pulau ini semakin ramai”.
Dari Singapura, kami menuju
Batavia.
Di kapal, aku kembali bersyukur kepada
Tuhan. Aku dan suamiku sekarang berlayar di antara pulau-pulau “milik” Kerajaan
Nederland, jauh dari Nederland. Luas Nederland tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan Hindia-Belanda. Bahkan jika seluruh daratan Nederland
dipindahkan ke sini, maka ia hanya setitik pulau saja di tengah pulau-pulau
raksasa Hindia-Belanda. Anton menjelaskan, bahwa di sisi kanan kapal kami
terdapat pulau Sumatera yang luar biasa panjangnya. Di sisi kiri terdapat pulau
Borneo yang luar biasa besarnya. Pulau Celebes di sebelah Pulau Borneo.
Tuhan memang baik kepada kami,
bangsa Nederland. Dengan wilayah Hindia-Belanda yang seluas ini, setidaknya
raksasa-raksasa Eropa tidak boleh memandang sebelah mata bangsa Nederland.
Memang Nederland kecil di Eropa apalagi dibandingkan dengan Jerman, Prancis dan
Inggris, tapi kami punya Hindia-Belanda yang maha luas.
Kapal akhirnya memasuki perairan Batavia
tanggal 4 Oktober. Sebulan penuh kami berpetualang dari Rotterdam sampai di
sini! Ah, bagaimana aku menggambarkan perasaanku saat ini...
Semua serba baru di perjalanan,
dan masih akan banyak hal baru ke depannya.
Aku dan Anton berdoa
bersama ketika pelabuhan Tanjung Priok semakin tampak. Tuhan Mahabaik....
0 komentar:
Posting Komentar