Legenda perang To Pada Tindo adalah kisah tentang perlawanan orang-orang Toraja terhadap invasi Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka. Kerajaan Bone mengklaim kemenangan dan penaklukkan atas Toraja pada saat itu, yang dianggap sebagai penaklukkan terakhir di seluruh daerah Sulawesi bagian selatan. Tetapi tradisi lisan orang Toraja mengklaim sebaliknya, mereka-lah yang menang, Arung Palakka dipaksa mundur (dihalau) dari Toraja.
Tulisan ini akan membahas kisah tersebut dengan berangkat dari dua sudut pandang, yaitu (1) berdasarkan catatan sejarah dengan sumber utama dari tulisan Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, (Leiden: 1981); dan (2) berdasarkan tradisi lisan orang Toraja. Untuk melengkapi catatan sejarah (poin 1), saya juga menggunakan buku Roxana Waterson, Paths and Rivers: Sa’dan Toraja Society in Transformation (Leiden: KITLV Press, 2009).
Berdasarkan catatan sejarah:
- Arung Palakka: Dari Orang Buangan Menjadi Penakluk
Pada abad 16, Kerajaan Gowa-Tallo tumbuh menjadi sebuah kekuatan besar di Sulawesi bagian selatan. Supremasi Gowa-Tallo ditegakkan dengan ekspansi dan penyebaran Islam di kerajaan-kerajaan lain. Pada bulan Oktober 1643, Bone diserang dan ditaklukkan oleh Gowa-Tallo yang dibantu oleh Soppeng dan Wajo. Arumpone (Raja Bone) waktu itu, La Ma’daremmeng dan saudaranya La Tenriaji Tosenrima, melarikan diri ke Larompong, Luwu’. Sejak itu, Bone menjadi bawahan (vassal / palili’) Gowa-Tallo. La Ma’daremmeng kemudian ditawan dan dibawa ke Gowa, sementara saudaranya, La Tenriaji, secara diam-diam kembali ke Bone dan menyusun kekuatan. Ketika kekuatan mereka semakin meningkat, Karaeng Gowa kembali mengirim misi penaklukkan dengan dibantu oleh Datu Soppeng, Arung Matoa Wajo dan Datu Luwu’. Bone kembali ditaklukkan dalam perang di Passempe pada 1644. Sejak itu, Gowa mengubah status Bone dari vassal menjadi hamba / budak Gowa. Bone mengalami kekosongan pemerintahan, sebagian besar keluarga kerajaan turut diangkut ke Gowa. Inilah masa dimana La Tenri Tatta Datu Mario ri Wawo alias Daeng Serang alias Arung Palakka tumbuh, yakni sebagai bangsawan Bone yang dibuang ke Gowa.Ketika diangkut ke Gowa, Arung Palakka menjadi pelayan Tumabbicarabutta (setara Perdana Menteri atau Mangkubumi) Gowa-Tallo, Karaeng Pattinngaloang. Dalam berbagai kesempatan, ia turut menghadiri berbagai pertemuan penting di Gowa-Tallo dengan menjadi pembawa kotak sirih Karaeng Pattinngaloang. Ia mendapat perhatian khusus dari Karaeng Pattinngaloang, tidak dianggap sekedar sebagai tawanan. Ketangkasannya dalam memainkan senjata dan bermain raga (olahraga dengan menggunakan bola dari rotan, sejenis takraw), membuat dia menjadi terkenal, memiliki banyak teman dari kalangan orang Gowa, termasuk I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe alias Sultan Hasanuddin. Kelak mereka akan berhadap-hadapan: Sultan Hasanuddin sebagai Karaeng (Raja) Gowa dan Arung Palakka sebagai pemimpin orang-orang Bugis yang memberontak.
Pemberontakan Arung Palakka dimulai karena dorongan siri’ dan pesse’, merasa terhina oleh penindasan yang dilakukan atas diri orang-orang Bone. Karaeng Karunrung yang menggantikan ayahnya, Karaeng Pattinngaloang, sebagai Tumabbicarabutta memerintahkan untuk mengangkut k.l. 10.000 orang Bone untuk dijadikan pekerja paksa membangun parit (sungai) yang menjadi garis pertahanan Gowa dalam rangka mengantisipasi serangan Belanda. Pekerjaan tersebut berlaku untuk semua orang Bone, termasuk para bangsawannya. Para bangsawan yang merasa terhina tersebut, di bawah pimpinan Arung Palakka, memberontak dan melarikan diri dari Gowa untuk membangun kekuatan. Belanda memanfaatkan pemberontakan Arung Palakka dengan menjadikan Arung Palakka dan pasukan gabungannya sebagai kekuatan utama dalam perang darat dengan Sultan Hasanuddin. Perang Makassar pun berkecamuk dan berakhir dengan taklukknya Sultan Hasanuddin. Perjanjian Bongaya ditandatangani. Dominasi Gowa-Tallo berakhir sudah. Arung Palakka dan Kerajaan Bone, yang disokong oleh Belanda, tumbuh menjadi supremasi baru. Arung Palakka memiliki ambisi untuk mempersatukan semua wilayah-wilayah di Sulawesi bagian selatan di bawah kekuasaannya. Karena itulah, setelah Perang Makassar, Arung Palakka melancarkan politik aliansi dan sejumlah ekspansi ke kerajaan-kerajaan lainnya. Menjelang akhir abad 17, hampir semua daerah sudah berada di bawah dominasi Bone melalui jalur pernikahan dan perang, kecuali Toraja. 2. Perang Meletus
Kesadaran dan kesatuan etnik pada masa-masa tersebut di atas belum tampak. Identitas kelompok masyarakat tidak didasarkan atas perasaan kesamaan etnik, tetapi lebih kepada persoalan teritorial. Karena itulah, aliansi-aliansi yang tercipta bisa saling membaur antara kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar, juga Mandar. Perang-perang yang terjadi juga bukan karena motivasi ke-suku-an, tetapi lebih kepada perang teritorial. Motivasi siri’ lebih mengarah kepada siri’ atas wilayah, seperti siri’ yang mendorong pemberontakan Arung Palakka untuk membebaskan Bone dari kekuasaan Gowa. Berbeda dengan daerah pesisir, masyarakat Toraja tidak mengenal konsep Kerajaan pada masa itu, mobilisasi sosial-politik di Toraja tidak terpusat. Apa yang dinamakan masyarakat Toraja pada masa itu adalah berbagai kelompok masyarakat yang menetap di pegunungan dengan pengorganisasian sosial berbasis kekerabatan tongkonan (kinship-house). Kampung-kampung yang ada di Toraja relatif otonom satu sama lain. Konfederasi antar-kampung yang cukup besar salah satunya ada di selatan, yaitu konfederasi Tallu Lembangna (Sangalla’, Makale dan Mengkendek), sebuah aliansi tiga daerah dengan pemimpinnya masing-masing bergelar Puang.
Invasi Arung Palakka ke Toraja – selain didorong oleh visi mempersatukan seluruh wilayah Sulawesi bagian selatan di bawah kekuasaanya – diawali oleh pengaduan Sawitto, Batu Lappa dan Enrekang karena serangan sporadis dan penjarahan yang dilakukan oleh kelompok ‘Toraja-Letta’ kepada tiga daerah tersebut. Arung Palakka menyusun kekuatan gabungan Bone, Soppeng, Wajo, Tanete, Pammama, Barru, Gowa, Tallo, Ajattappareng dan Mandar untuk menghukum ‘Toraja-Letta’ sekaligus persiapan menginvasi pegunungan Toraja. Letta ditaklukkan. Tanggal 16 Agustus 1683, Belanda mengirim 15 pasukan Eropa untuk bersama-sama dengan Arung Palakka dan pasukan gabungannya menginvasi Toraja.
Motivasi lain dari Arung Palakka yang dicatat oleh Andaya adalah gangguan-gangguan yang sering dilancarkan oleh orang-orang Toraja ke Luwu’ dan beberapa daerah sekitar yang telah berada di bawah ‘perlindungan’ Bone, menaklukkan ‘orang-orang liar’, dan janji Datu Luwu’ untuk menikahkan anak perempuannya dengan La Patau (keponakan Arung Palakka) kalau Toraja sudah ditaklukkan. Janji Datu Luwu tersebut penting bagi Arung Palakka sebagai bagian dari politik perluasan kekuasaan melalui pernikahan (selain perang).
20 September 1683, pasukan gabungan sejumlah k.l. 50.000 pasukan tersebut tiba di Toraja. Panglima perang Arung Palakka adalah keponakannya, La Patau.
Sejauh yang bisa dilacak dalam sejarah, inilah untuk pertama kalinya sebagian besar kampung-kampung otonom di pegunungan Toraja berkoordinasi, membentuk aliansi, dalam sebuah gerakan perlawanan. Mereka melancarkan perlawanan dengan taktik yang serupa dengan taktik gerilya: menarik diri ke bukit-bukit batu, menunggu kesempatan untuk melakukan serangan tidak terduga, lalu kembali bersembunyi. Senjata yang mereka gunakan terutama adalah panah beracun, perangkap (ranjau) dan senjata api rampasan. Hendrik Geerkens, seorang tentara kompeni yang ikut pada saat itu melaporkan bahwa invasi tersebut berjalan sangat sulit dan Arung Palakka berada dalam bahaya. Orang Toraja sangat memahami bagaimana memanfaatkan medan yang sulit untuk menjebak musuh. Pasukan Arung Palakka dipancing untuk terus menerus masuk ke pedalaman, lalu diserang secara tiba-tiba. Orang Toraja juga pandai menyelinap masuk ke kamp-kamp pasukan invasi untuk memasang ranjau beracun, atau menyelinap dan menghilang di perbukitan setelah menyerang. Dua kali panah beracun nyaris membunuh Arung Palakka, yang satu melewati sela kakinya sedangkan yang lain mendarat tepat di depannya.
Korban dari pihak Arung Palakka tidak sedikit, seperti yang dicatat oleh Andaya: 21 orang terbunuh dalam serangan dadakan malam pertama (20 September), kehilangan banyak pasukan (jumlah tidak dicatat) pada pertempuran terbuka untuk pertama kalinya (26 September), 500 pasukan terbaik terbunuh oleh senjata api dan 100 lainnya oleh perangkap (5 Oktober), 200 orang yang terluka karena perangkap dan ditinggalkan di markas untuk pemulihan terbunuh oleh panah beracun, 116 pasukan dari 200 pasukan La Patau yang ditugaskan mencari makanan (beras) juga terbunuh. Catatan Belanda mengungkapkan, dari 50.000 pasukan yang dikirim, 780 di antaranya tewas, termasuk 130 orang terbaik La Patau. Pasukan Makassar mengatakan bahwa jumlah yang tewas jauh lebih banyak dari yang dilaporkan Belanda, tetapi Andaya memperkirakan bahwa jumlah yang disebut oleh pasukan Makassar sudah termasuk yang tewas karena penyakit dan berbagai kecelakaan. Korban dari pihak orang Toraja tidak dirinci secara jelas, tetapi jika melihat kekuatan pasukan Arung Palakka dan sekutunya, tentu korban dari pihak Toraja juga tidak sedikit.
Invasi Arung Palakka berakhir setelah sekelompok pemimpin Toraja (dengan dipimpin oleh seorang perempuan tua yang buta, yang oleh mereka disebut sebagai ‘ratu’), turun gunung untuk bernegosiasi dan menyatakan menyerah. Mereka menyerahkan sejumlah kain, keris dan seorang gadis muda sebagai tanda menyerah. Selain itu, mereka berjanji akan menyerahkan 1.000 gantang (3,125 kg) beras dan 1.000 ekor kerbau. Perjanjian ini terjadi di ‘Laia’, Tallu Lembangna. Arung Palakka kembali dengan membawa 600 orang Toraja sebagai budak, dan membagi-bagikan kepada para bangsawan sekutunya yang ikut di dalam perang.
Berdasarkan catatan Andaya, Roxana Waterson (2009:44) menyimpulkan bahwa yang menyerah pada saat itu adalah salah satu pemimpin Tallu Lembangna. Hal ini bisa dimaklumi karena daerah selatan menjadi jalur dan sasaran utama invasi Bone. Tidak ada catatan yang jelas sejauhmana invasi tersebut ke daerah utara dan daerah-daerah lainnya. Dengan menyerahnya sejumlah pemimpin tersebut, maka daerah mereka menjadi hamba dari Bone. Sekalipun demikian, perjanjian yang ditawarkan oleh Bone sebagaimana terungkap dalam lontara’ yang dikutip oleh Andaya (1981:112) memberikan kebebasan penuh atas teritorial dan sistem sosial daerah taklukkannya tersebut:
‘Keep the land which is your land, the rocks which are your rocks, the rivers which are your rivers, the grass which is your grass, the water which is your water, the water buffaloes which are your water buffaloes, the ipo which is your ipo. The weapons which are your weapons, the adat which is your adat, and the bicara which is your bicara’.
(kode: L-1:125; sumber: Lontara’na H.A. Sumangerukka, ex-Patola Wajo. Pemilik: H.A. Pancaitana, ex-Datu Pattojo; lih. hlm. 333)Andaya mencatat bahwa Arung Palakka tidak pernah berhasil untuk menaklukkan Toraja secara total. Pasca invasi besar-besaran yang pertama tersebut, pasukan Arung Palakka masih sering melakukan invasi-invasi berikutnya. Tidak seperti dataran rendah yang mudah dikontrol, situasi alam dan situasi sosial-politik yang tidak terpusat di Toraja selalu menetralisir keadaan pasca invasi.
Klaim kemenangan melalui invasi-invasi Arung Palakka atas Toraja, terutama invasi pertama tersebut di atas, bertolak belakang dengan tradisi oral orang Toraja. Sekalipun berbagai versi berkembang di Toraja tentang invasi tersebut, tetapi pada dasarnya memiliki alur yang sama dimana tidak ada satupun narasi yang berakhir dengan kekalahan seluruh Toraja. Kita hanya akan menemukan cerita tentang 'pendudukan sementara' Arung Palakka atas wilayah selatan (Tallu Lembangna). Pada bagian berikut, saya akan mengungkapkan bagaimana perang itu terjadi dalam pandangan orang Toraja yang terungkap dalam legenda perang To Pada Tindo To Misa Pangimpi.
Berdasarkan tradisi lisan (bersambung)….
https://kokonatsutrrrrrrrrrrrrr.blogspot.co.id/2017/12/keliru-kebiasaan-makan-buah-seperti-ini.html
BalasHapushttps://kokonatsutrrrrrrrrrrrrr.blogspot.co.id/2017/12/kasihan-pada-orang-tua-bocah-pengidap.html
https://kokonatsutrrrrrrrrrrrrr.blogspot.co.id/2017/12/waspada-5-makanan-ini-justru-bikin.html
Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
SITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
• AduQ
• BandarQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• FaceBook : @TaipanQQinfo
• WA :+62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
Come & Join Us!!
Sebuah perjalanan sejarah yang mengharj bisu dari seorang Aru palakka yg tertindas, tak mau dijajah dan dia memberontak
BalasHapusBagaimana dengan versi ke-2? Kenapa belum dimunculkan?
BalasHapus