1
Solo,
hari Minggu, 1919
*****
Jari-jariku
terus bergerak di atas tuts berwarna hitam dan putih. Kakiku menginjak pedal
dari sebuah piano yang terletak di sudut salah satu ruangan rumah sakit SF.
WONOSARIE INLANDER HULPHOSPITAAL. Tuhan
adalah gembalaku, takkan kekuranagan aku... aku terus memainkan piano
sambil menyanyi dengan lirih. Air mata menetes dipipiku. Ia membaringkan aku, di padang yang berumput hijau... Perlahan-lahan,
orang-orang yang hanya termangu menatapku mulai ikut bergabung dan mulai
bernayanyi bersama. Paduan suara spontan terjadi Minggu pagi ini. Mereka adalah
staf rumah sakit, para wanita inlander yang
selama ini bekerja di rumah sakit.
Ya,
setelah semua kepahitan dan penderitaan hidup yang membuatku putus asa, aku
mengharapkan kekuatan ilahi untuk menguatkan aku menapaki jalan yang masih
harus kulalui.
Namaku Alida Petronella van de
Loosdrecht, tetapi orang biasa memanggilku Mevrouw
Ida.[1] Nama
gadisku Alida Petronella Sizoo. Sejak kecil aku dipanggil Ali oleh lingkungan
keluargaku. “Sizoo” adalah nama keluarga kami, yang menjadi namaku sejak
kelahiranku, pemberian kedua orang-tuaku. Nama “van de Loosdrecht” adalah nama
dari suamiku, orang yang menjadi teman hidupku di negeri yang jauh dari tanah
kelahiranku. Nama itu akan melekat sepanjang hidupku, bersama dengan memori
bersamanya yang terus melekat dalam diriku.
Karena mereka semualah aku
bernyanyi pagi ini. Orang-orang yang memiliki tempat-tempat terbesar dalam
hatiku. Orang-orang yang aku sayangi. Dan juga untuk Boby, anakku, anak Anton,
anak kami berdua. Begitulah, ketika luka yang satu belum terobati, luka yang
lain susul menyusul.
Dan aku terus bernyanyi....
“Tuhan adalah
gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku, di padang yang berumput
hijau. Ia membimbing aku ke air yang tenang, ia menyegarkan jiwaku....”
************
0 komentar:
Posting Komentar