2
Kisahku aku mulai dari sini....
Rotterdam,
Negeri Belanda, tahun 1913.
****
Beberapa
teman kuliah telah menungguku di depan sebuah ruangan kampus. Aku menyapa
mereka dan untuk beberapa saat kami terlibat obrolan ringan. Hari ini kami
semua datang ke kampus khusus untuk mengikuti kuliah umum dari seorang lulusan
sekolah misi. Calon misionaris seberang lautan.
“Mengunjungi Hindia-belanda
adalah impianku sejak dulu. Andai saja ada pemilik perkebunan di Hindia
melamarku, tak kan ku tolak”.
“Aku telah melihat banyak sekali
foto dari sana, bahkan aku telah melihat beberapa lukisan mooi Indie, wow, sangat menarik”
Aku hanya menyimak dan sesekali
menimpali dengan senyuman dan tawa kecil. Memang benar, Hindia-Belanda juga
adalah negeri kami, tepatnya negeri “milik” kami yang lain. Walaupun bukan
tempat nenek-moyang bangsa Belanda berasal, tetapi Hindia-Belanda berada di
bawah pemerintahan Yang Mulia Ratu. Orang Belanda telah berada di sana sejak
melakukan ekspedisi perdagangan. Mereka telah menguasai perdagangan di sana
melalui kongsi dagang VOC, yang mungkin merupakan perusahaan dagang terbesar
milik bangsa Belanda yang pernah ada. Bagaimana tidak, mereka memiliki angkatan
perang sendiri, kapal-kapal dagang, sistem administrasi yang rapi yang mirip
dengan sistem pemerintahan sebuah negara. Wilayah kekuasaan dagang mereka
sangat luas. Negeri Belanda sendiri terlalu kecil di banding wilayah kekuasaan
dagang mereka. Dan semua itu terjadi di sana, di seberang lautan, sejak
beberapa ratus rahun lalu. Tetapi sayang kongsi dagang ini akhirnya bangkrut.
Inggris menguasai Hindia-Belanda sampai Yang Mulia Ratu mengambil-alih kembali.
Begitulah sekilas yang aku tahu tentang negeri “milik” kami di seberang lautan
itu. Negeri penuh misteri, negeri 1001 kisah, penuh inspirasi tetapi belum
maju. Begitu yang sering aku dengar.
Obrolan kami terputus ketika
seorang muda yang wajahnya asing bagi kami sedang bercakap-cakap bersama
beberapa orang sambil berjalan ke pintu masuk ruangan. Inilah orangnya,
pikirku. Kami segera memasuki ruangan, dan mengambil posisi duduk paling depan.
Ini adalah kesempatan untuk mendengar orang ini untuk menceritakan tentang
negeri Yang Mulia Ratu di seberang lautan. Aku yakin orang ini belum tentu
pernah ke sana, tetapi setidaknya ia tahu banyak tentang negeri itu. Ia pasti
mengumpulkan informasi sebagai bekal sebelum menuju ke sana sebagai seorang
misionaris.
Kumisnya lebat, namun dicukur rapi dan tumbuh bersambungan
dengan jenggotnya sehingga kedua bibirnya tampak terkepung oleh bulu-bulu hitam
tersebut. Badannya tegap, dan dari pancaran wajahnya menandakan bahwa ia adalah
seorang pemuda yang serius. Aku membayangkan bahwa kuliah ini akan menjadi
membosankan.
Ia memulai kuliahnya.....
“Saudara-saudara sekalian, terima
kasih untuk kesempatan yang diberikan
bagi saya untuk menyampaikan kuliah umum. Perkenalkan, nama saya Antonie Aris
van de Loosdrecht, lulusan Fakultas Teologi Heidelberg...”
Ia berhenti beberapa saat sambil
mengedarkan pandangan, mungkin mengumpulkan bahan yang ada di kepalanya yang
akan dia sampaikan....
“saya baru saja lulus dari
sekolah misi dan akan menjadi misionaris untuk orang-orang yang berada di seberang
lautan. Toraja, demikian nama suku tersebut. Mereka adalah orang-orang yang
hidup di hutan-hutan, di pegunungan dan masih primitif. Mereka masih dikuasai
oleh kegelapan. Perbudakan, saling membunuh, bahkan memperdagangkan sesamanya
sendiri. Mereka membutuhkan Kristus, mereka membutuhkan cahaya Injil dan untuk
itulah aku terpanggil untuk menunaikan misi suci ini...”
Ia
meneruskan kuliahnya yang lebih mirip pidato tersebut dengan menjelaskan
tentang ladang misi tersebut. Ia tampak semakin bersemangat, dan di luar
dugaanku ia adalah seorang yang sangat pandai berpidato. Ia membawa kami,
paling tidak aku, memasuki imajinasi sebuah kehidupan liar di belantara
pegunungan. Pada sebuah etnis yang hidup di pegunungan Pulau Celebes.
Aku begitu terpesona dengan apa
yang ia sampaikan. Bagaimana bisa, di zaman ini masih ada orang-orang yang
hidup liar di hutan, di pegunungan, menjual sesamanya, berburu kepala,
bla...bla...bla... Selesai kuliah, aku mengajak teman-teman untuk mengobrol
dengan pemuda tersebut.
Ketertarikanku pada kuliah yang ia
berikan dan ketertarikannya pada ketertarikanku atas kuliah umum yang ia
sampaikan membuat kami saling berkirim surat sesudah hari itu. Bahkan Anton,
demikian pada akhirnya aku memanggilnya, sekali-sekali datang berkunjung ke
rumahku. Lama kelamaan aku semakin sadar bahwa pertemanan kami yang singkat itu
telah menumbuhkan ketertarikan yang lebih dalam lagi.
Cinta.
Ya, aku dan Anton sama-sama jatuh
cinta. Cinta kami saling bersambut di hati kami masing-masing: aku dan Anton.
Hingga dalam sebuah pertemuan kami berikutnya, Anton mengutarakan niatnya
secara terang-terangan: Anton ingin menikahiku. Ah, sang waktu memang telah
menyediakan tempat-tempat tertentu dimana manusia mencapai kebahagiaan bersama.
Semua indah pada waktunya, demikian
kata Kitab Suci. Semua itu terjadi hanya beberapa bulan setelah pertemuan
pertama kami di kampusku.
Tetapi bagaimana aku hendak
menyampaikan ini kepada keluargaku, terutama kedua orang-tuaku? Bahwa seorang
misionaris yang tidak lama lagi akan berangkat ke Hindia-Belanda ingin
menikahiku? Apakah mereka akan menerimanya dengan kosekuensi aku akan ikut
berlayar ke negeri seberang lautan? Telah menjadi hal yang umum di sini bahwa
jika seorang wanita menikah, maka ia harus mengikuti suaminya. Tetapi dengan
Anton? Itu berarti aku harus mengikutinya ke seberang lautan, jauh dari
keluarga. Aku memang sangat ingin ke Hindia-Belanda, dan hampir semua orang
yang ada di sini ingin ke sana mencari penghidupan yang lebih baik. Perang di
hampir seluruh daratan Eropa telah menyebabkan kegoncangan yang sangat dahsyat,
menyebabkan krisis terjadi di daratan Eropa ini, tidak terkecuali Belanda. Bahkan,
aku pernah mendengar ungkapan sinis yang mengatakan bahwa istana Yang Mulia
Ratu terapung di atas ratusan juta gulden kekayaan yang diangkut dari
Hindia-Belanda melalui Culturstelstel beberapa
waktu yang lalu. Entah benar atau tidak, aku tidak pernah mencari tahu. Mungkin
saja itu hanyalah anggapan kelompok tertentu yang memang terlalu sering
mengkritik pemerintah belakangan ini. Lagipula, keinginanku ke sana tidak
semata-mata untuk itu. Keluargaku sudah cukup terpandang dan mapan untuk
kehidupan kami dan karena itulah aku ragu apakah mereka akan merestui keinginan
Anton itu.
Aku bimbang...
Tetapi Anton telah menunjukkan
keseriusannya yang luar biasa....
Seperti biasa, malam itu keluarga
kami makan malam bersama. Papa, Mama, aku, dan keempat adikku duduk mengitari
meja makan. Setelah Papa memimpin doa makan, kami mulai menyantap makanan,
dengan sedikit obrolan yang tidak penting sampai makan malam selesai. Ketika
aku hendak beranjak dari meja makan, Mama menahanku.
“Jangan beranjak dulu sayang, ada
hal penting yang Papa dan Mama mau sampaikan mengenai kamu. Duduklah kembali”.
Aku tertegun. Hal penting?
Mengenai diriku? Aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa akan segera
terjadi. Dan aku kembali duduk. Mama memandang kepada Papa dengan tatapan yang
tidak biasa, penuh isyarat. Papa mendehem...
“Ali, anakku, berapa usiamu sekarang
nak?” Pertanyaan Papa menambah teka-teki di meja makan ini. Jelas ia tahu
usiaku berapa, jelas bahwa ini hanyalah pertanyaan pembuka untuk ‘hal penting
mengenai diriku’.
“22 tahun Papa...” aku menjawab
seadanya, mencoba memecahkan teka-teki yang sedang mereka mainkan. Kali ini
giliran Papa yang memandang Mama. Mama mengangguk. Ada apa ini?
“Begini Ali, anakku, Papa dan Mamamu
berpikir usia kamu sudah cukup dewasa. Apakah kamu belum pernah berpikir
tentang pendamping hidup?”. Papa menatap Mama lagi.
Pendamping hidup? Jelaslah sudah,
ini tentang pernikahanku. Sejumlah pertanyaan mulai menjalar dalam pikiranku.
Apakah Papa dan Mama resah dengan hubunganku dengan Anton dan ingin
memisahkanku? Papa punya banyak relasi bisnis. Pasti kedua orangtuaku hendak
memperkenalkan salah satu anak laki-laki dari teman bisnis Papaku. Bagaimana
aku akan menjelaskannya kepada mereka tentang keinginan Anton menikahiku? Aku
membayangkan betapa kecewanya Anton ketika mengetahui aku akan ditunangkan
dengan orang lain. Oh, Tuhan....
Aku terdiam.
Keempat adik laki-lakiku juga
terdiam mendengarkan. Pembicaraan ini memang bukan hal yang biasa. Jarang terjadi,
karena aku anak pertama dan di antara kami belum ada yang menikah.
“Mengapa kamu diam anakku? Benar
kata Papa, sudah waktunya untuk memikirkan masa depanmu. Dan sekarang seseorang
telah menyampaikan niat itu pada Papa dan Mama lewat surat. Mana suratnya Pa?”
Semakin terang benderanglah
sudah, seorang kenalan Papa telah melamar aku untuk dipersunting dengan anak
laki-lakinya. Benar kata Mama, aku bisa saja menolak, tetapi tak dapat
kubayangkan kekecewaan kedua orangtuaku jika itu kulakukan. Aku kini terjepit
di antara Anton dan kedua orangtuaku.
Papa bangkit dari duduknya, menuju
meja kerjanya dan mengambil sebuah surat yang sudah
keluar dari envelop, pertanda surat tersebut telah
dibaca.
“Bacalah sendiri nak”. Papa kembali
duduk.
Aku menerima lembaran surat itu
dengan ragu-ragu. Tanganku gemetar. Tulisan ini, sepertinya aku kenal. Tapi gugup
yang menguasaiku membuat aku tidak dapat berpikir dengan jernih, apalagi untuk
mengingat tulisan milik siapa ini. “Tuan
dan Nyonya yang terhormat...” aku langkahi isi surat itu dan langsung ke
ujung surat. Aku penasaran, siapa kiranya kenalan Papa yang telah meminangku
ini.
Di ujung surat kutemukan nama
itu: Antonie Aris van de Loosdrecht.
Aku terperanjat setengah mati.
Kuulang lagi untuk memastikan bahwaa aku tidak sedang berhalusinasi. Ya, jelas
surat ini milik Anton. Tanpa sepengetahuanku ia telah menulis surat pada Papa
dan Mamaku. Ku baca isi surat tersebut. Seperti yang telah Anton katakan, ia
meminta restu dari orangtuaku untuk menikahiku. Ya ampun....
Aku menatap Papa lalu Mama untuk
menyelidiki wajah mereka. Apakah mereka menerima? Ataukah ini baru hanya pengantar
untuk menyatakan bahwa aku tidak cocok dengannya?
“Semua tergantung kamu Ali, anakku.
Papa dan Mama sudah bicara dan kami akan menyerahkan keputusannya kepadamu.
Jika kamu masih bimbang, silahkan berpikir-pikir dulu. Tetapi kalau tekadmu
sudah bulat, undanglah Anton ke sini. Ia pemuda yang baik dan serius. Papa
telah beberapa kali mengorbrol dengannya, kesan Papa, dia pemuda yang bertanggungjawab”.
Papa berceramah panjang lebar dan Mama sesekali menimpali. Aku menangkap satu
inti pembicaraan: Anton telah berhasil meyakinkan mereka.
Anton memang pandai merebut hati
orang. Bukankah aku terpesona padanya karena pidatonya beberapa bulan lau? Mungkin
dia pernah belajar retorika.... Entahlah. Tapi kenapa dia tidak bilang dulu ke
aku kalau mau sampaikan langsung ke orangtuaku. Awas kau Anton.
Begitulah...
Pernikahan kami berlangsung
tanggal 17 Agustus 1913. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, hidupku berubah
drastis. Rasanya baru kemarin aku melewati masa kanak-kanak dan tumbuh menjadi
seorang remaja putri, kini aku dapati diriku telah menjadi seorang istri.
Rasanya baru kemarin orang-orang memanggilku juffrouw[1],
tetapi mulai sekarang orang akan memanggilku mevrouw. Rasanya baru kemarin... dan kini..., rasanya baru kemarin
.... dan kini .... Terlalu banyak perubahan memang. Semua yang akan dilalui manusia di dalam waktu
adalah sebuah misteri sampai sang manusia itu menjalaninya. Dan semua yang
telah dilalui itu meninggalkan jejak yang hanya bisa dipandang dalam memori
tanpa bisa kembali lagi ke sana. Apa yang telah aku lalui itu terlalu panjang
untuk aku tuliskan...
Satu yang pasti: AKU BAHAGIA.
Dengan status baru ini, isteri seorang
calon misionaris yang akan segera berangkat ke wilayah misi, sejumlah kesibukan
sebagai persiapan aku jalani. Aku mengikuti kursus kesehatan yang diadakan
khusus untuk calon misionaris perempuan di rumah sakit kota Rotterdam.
Pelajaran utamanya adalah membantu persalinan dan mempelajari penyakit-penyakit
daerah tropis. Selain itu, aku juga kursus menjahit, mempelajari keadaan alam
dan kebudayaan orang-orang Hindia-Belanda. Anton tak kalah sibuknya.
Mempersiapkan bahan-bahan untuk keperluan misi, membereskan administrasi
keberangkatan kami berdua, dan lain sebagainya.
Terhitung hampir sebulan sejak
pernikahan kami, diiringi dengan peluk-cium dan airmata dari kedua orangtuaku
dan adik-adikku, salam perpisahan dari beberapa sahabat karibku dan para tetangga,
kami berangkat....
****************
0 komentar:
Posting Komentar