4
Langit
cerah kebiruan dengan kelompok-kelompok kecil awan putih yang bergerombol di
beberapa titik ketika kami menaiki trem yang akan membawa kami dari pelabuhan
menuju Kota Batavia. Di luar dugaanku, Hindia-Belanda ternyata sudah memiliki
ular besi buatan manusia ini. Gerbong-gerbong trem ini dibagi menjadi dua
kelas. Rombongan kami naik di kelas satu yang nyaman dan bersih. Tempat duduk
dalam trem ini dibagi dua jalur, di
antaranya adalah ruang kosong untuk ditempati berjalan. Setiap deret kursi
cukup untuk dua orang. Aku duduk bersama Mevrouw Adriani di jalur kanan, di
seberang kami Tuan Adriani dan Anton, di belakangnya lagi beberapa misionaris
yang ikut menjemput kami. Orang-orang inlander
berada di gerbong bagian belakang, di kelas dua. Penumpang trem kelas satu
sebagian besar berambut pirang dan berkulit putih. Satu hal baru lagi aku
dapatkan: orang Eropa dan orang inlander berbeda
kelas di sini.
Tuan Adriani dan Anton
bercakap-cakap sepanjang jalan, sambil sesekali tertawa kecil. Di kapal Anton
sudah bercerita mengenai orang ini. Ia sangat dikenal di kalangan misi sebagai
ahli bahasa Toraja. Kepalanya agak botak, kumis dan cambangnya cukup lebat.
Laki-laki Eropa memang suka memelihara kumis dan cambang. Duduk berdampingan
seperti itu, mereka terlihat seperti guru dan murid. Doktor ahli bahasa
tersebut sepertinya orang yang ramah. Mevrouw Adriani pun tak kalah ramah. Aku
memperkirakan usianya sekitar 30-an tahun. Tinggi badannya hampir sama
denganku. Rambutnya pirang penuh dan mukanya agak lonjong. Hanya dalam beberapa
saat aku sudah merasakan kasih sayang yang hangat darinya. Dalam hati aku tak
henti-hentinya bersyukur pada Tuhan. Setidaknya kami mengawali hari-hari di
Hindia-Belanda dengan bertemu hamba-hambaNya yang penuh kehangatan.
Belum ada pembicaraan penting di
antara kami, apalagi yang menyangkut misi. Para penyambut kami sepertinya ingin
membuat kami serileks mungkin setelah perjalanan panjang dari Rotterdam. Aku
sendiri merasa badan masih seperti terayun-ayun akibat goyangan gelombang
selama di perjalanan. Gerbong kelas dua sangat gaduh. Sesekali aku harus
menengok ke belakang, sekedar memastikan bahwa tidak ada keributan. Mereka
berbahasa Melayu dan bahasa Jawa. Begitulah... beda bangsa, beda budaya, beda
perilaku. Sebagai pasangan misionaris, aku dan Anton harus membiasakan diri
dengan suasana baru ini. Lain hal jika kami adalah pejabat pemerintah yang
hanya di kantor dan bergaul dengan pegawai-pegawai saja.
Keluar dari pelabuhan, trem memasuki
wilayah rawa-rawa yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar. Beberapa ekor
monyet tampak bergelantungan dengan jenaka. Hiburan pertama buatku! Hanya
sesekali kelihatan bangunan sederhana. Sekali aku melihat sebuah bangunan yang
agak besar, menyerupai vila. Mungkin memang itu vila, entahlah... Dari Mevrouw
Adriani aku tahu, daerah ini bernama Ancol.
Trem akhirnya memasuki kawasan Kota
Batavia. Inilah pusat pemerintahan Hindia-Belanda, tempat Yang Mulia Gubernur
Jenderal berkantor. Dengar-dengar, penguasa Hindia-Belanda ini bertanggungjawab
langsung ke Yang Mulia Ratu di Nederland. Entah benar, entah tidak. Sebagian
jalan kota sudah diaspal, sebagian lagi masih berupa batu-batu cadas yang
disusun rapi. Bangunan-bangunan tua bergaya Eropa berderet di sana-sini.
Sebagian mungkin sudah mencapai seratus tahun lebih. Bukankah orang Belanda
sudah beratus-ratus tahun di sini? Bangunan-bangunan baru seakan tak mau kalah.
Dan, lihat! Toko-toko China juga ikut meramaikan. Deeleman, grootbak, dos-a-dos, bendy, landau, victoria dan dogcart[1]
rupanya sudah sampai juga di Batavia ini. Sungguh beraneka-ragam
pemandangan. Auto juga ada, tapi belum
seramai kota-kota di Eropa. Sebuah sungai mengalir di tengah kota; sungai Ci
Liwung, kata Mevrouw Adriani. Beberapa kali trem berhenti di halte untuk
menaikkan dan menurukkan penumpang.
“Sebentar lagi kita akan turun,
Mevrouw Ida. Selamat datang di Batavia”.
Trem berhenti di salah satu halte
dan kami semua turun. Mevrouw Adriani memanggil sebuah dos-a-dos. Belakangan aku tahu, orang inlander menyebut sado, untuk menyesuaikan dengan lidah Melayu. Sebuah sado mendekat. Mevrouw
bercakap-cakap sejenak dengan bahasa Melayu. Aku menggerutu dalam hati karena
tidak paham. Sekian ratus tahun orang Belanda di Batavia, mengapa orang-orang
di Batavia tidak pakai Bahasa Belanda saja?
“Kalian akan diantar ke sekolah
keputrian di Salemba. Malam ini kalian menginap di sana, kami sudah menghubungi
kepala sekolah juffrouw de Han”.
“Kita bertemu besok di gereja, Tuan,
Mevrouw. Kalau memungkinkan, Mevrouw akan menjemput kalian. Tapi kalau tidak
sempat, Juffrouw de Han akan bersama-sama kalian ke gereja. Beristirahatlah
dulu Tuan, Mevrouw. Kelengkapan administrasi kalian akan segera diurus”.
Mevrouw Adriani menangguk ramah, tanda meng-iya-kan perkataan suaminya. Tuan
Adriani menyalami kami, diikuti yang lainnya.
“Terima kasih, Tuan-tuan. Terima
kasih Mevrouw”.
Dengan sado, kami menuju sebuah
sekolah keputrian di Salemba. Anton menggunakan ksempatan itu untuk
bercakap-cakap dengan orang tersebut. Untuk memperlancar bahasa Melayu
tentunya, dan aku harus puas jadi pendengar. Ia seorang Madura, kata Anton.
Suku-bangsa mana lagi itu Madura. Hindia-Belanda memang banyak suku-bangsa! Sepertinya
bahasa Melayu menjadi bahasa penghubung di antara mereka. Orang Belanda juga
pakai bahasa Melayu untuk berbicara dengan mereka. Tapi aku menangkap kesan,
orang Belanda agak kasar ketika menggunakan bahasa itu kepada mereka. Ah,
sudahlah... aku tak mau semakin pusing untuk bertanya lebih lanjut. Toh...
nanti akan paham dengan sendirinya. Pertanyaan yang keluar justru:
“Mengapa bahasa Belanda tidak
digunakan oleh semua orang di sini, sayang?”.
Anton mengangkat bahu, alisnya
ikut terangkat, lalu tertawa kecil. Ia sengaja menggoda aku yang tidak paham
Melayu.
Kami memasuki sebuah pekarangan
bangunan sekolah. Seorang wanita Belanda yang masih muda menyambut kami ketika
melihat sado memasuki pekarangan. Ini pasti Juffrouw de Han. Barang-barang kami
diturunkan oleh beberapa siswa.
Juffrouw de Han menyalami kami
sambil memperkenalkan namanya.
“Antonie van de Loosdrecht.
Jufrrouw cukup memanggilku Anton”, Anton menjabat tangan sambil memperkenalkan
diri.
“Alida Petronella van de
Loosdrecht. Panggil saja Ida, Juffrouw”. Aku juga memperkenalkan diri.
“Selamat datang Tuan dan Mevrouw
van de Loosdrecht. Beberapa hari yang lalu Mevrouw Adriani telah menyampaikan
rencana kedatangan kalian. Tentu sangat lelah. Kamar telah disiapkan. Semoga
Tuan Anton dan Mevrouw Ida senang berada di sini”. Sambutannya begitu ramah.
Terima kasih Tuhan...
Seorang murid, gadis inlander mengantar kami ke kamar. Anton
dan aku berdoa syukur bersama. Hari sudah mulai malam. Kami akan makan malam
bersama kepala sekolah dan staf sekolah beberapa jam lagi. Kami punya waktu
untuk mandi dan bersiap-siap. Anton hendak menyelesaikan suratnya terlebih
dahulu.
Kami makan malam pertama di
Hindia-Belanda bersama kepala sekolah dan beberapa staf sekolah. Mereka semua
orang yang ramah, membuat kami betah di suasana yang serba baru ini.
Ah.... kupu-kupu ini sekarang
sudah berada di pekarangan Hindia-Belanda...
*******
Batavia
sangat panas menyengat. Karena itu aku gunakan gaun baru buatan mama. Warnanya
merah maron, lengan panjang memang, tetapi kainnya agak tipis. Tampak serasi
dengan rok panjang berwarna hitam yang juga tidak terlalu tebal berpadu dengan
sepatu-sandal hitam. Kalung dengan manik-manik berwarna putih menghiasi
leherku. Topi bundar-besar yang kupakai melindungi kepalaku.
Kami memasuki halaman gereja
bersama Mevrouw Adriani dan Juffrouw de Han. Tuan Adriani sedang bersiap-siap,
karena dia yang akan memimpin ibadah kali ini. Gedung gereja ini cukup besar
dan gaya bangunannya sangat mengikuti gaya Gereja Protestan di Nederland. Pintu
masuk ruangan gereja bersambung dengan menara yang menjulang di atasnya. Menara
tersebut menyerupai balok. Pada pertengahan menara, terdapat relief yang
berbentuk salib besar. Puncak menara berbentuk kerucut menjulang ke langit dan
di ujungnya terdapat replika ayam jantan yang dibuat dari pelat tembaga.
Ruangan dalam gereja cukup besar,
mampu menampung 300-an jemaat.
Aku, Mevrouw Adriani dan Juffrouw
de Han duduk di deretan kursi sebelah kiri, ketiga dari depan. Anton duduk di
deretan sebelah kanan. Begitulah kebiasaan Jemaat Protestan Belanda yang
beraliran Calvinis: laki-laki dan perempuan duduk terpisah. Jemaat baru mulai
berdatangan. Sebagian besar adalah orang Eropa. Beberapa lagi orang-orang Hindia
yang telah menjadi pegawai pemerintah dan tentara Hindia-Belanda. Pemerintah
Hindia-Belanda rupanya memiliki aturan-aturan tersendiri menyangkut orang
Hindia-Belanda. Orang-orang inlander dapat
diberikan status khusus yang “hampir” setara dengan orang Eropa lainnya. “Hampir”,
karena bagaimanapun tetap ada bedanya. Caranya, mereka harus diakui oleh salah
satu keluarga Belanda sebagai anggota keluarga dan mendapat marga keluarga
tersebut. Minimal diangkat jadi anak. Mereka juga mengganti nama pribumi mereka
dengan nama Eropa, juga berpakaian Eropa dan beragama Kristen. Mereka
“diperbolehkan” menggunakan bahasa Belanda. Mereka, orang-orang yang bertubuh
Hindia tetapi berstatus “hampir” Eropa disebut Indo, sedangkan orang Eropa asli
disebut Eropa totok.
Aku mulai paham,kenapa bahasa
Belanda tidak digunakan umum di sini. Di era ini, di Hindia-Belanda, persoalan
bahasa juga adalah persoalan kelas sosial. Hanya totok, indo dan sebagian inlander Kristen yang boleh saling
berbahasa Belanda. (Belakangan aku tahu, di luar indo, ada juga inlander yang punya status khusus tanpa
harus menjadi Kristen. Mereka umumnya keturunan ningrat yang disekolahkan di
sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Tetapi untuk masyarakat kebanyakan, jangan
coba-coba berbahasa Belanda dengan orang Belanda kalau tidak mau kena semprot
caci-maki....!!). Kepada orang inlander, mereka
pakai bahasa Melayu. Pantas saja, orang Nederland di pelabuhan kemarin tampak
kasar ketika berbicara dengan inlander.
Bahkan budaya jabat tangan hanya berlaku untuk orang Eropa plus Indo!!!
Bahasa penghubung di antara
orang-orang inlander yang berbeda
suku-bangsa adalah bahasa Melayu. Sesama suku-bangsa, mereka pakai bahasa
daerah. Orang Jawa berbahasa Jawa, orang Madura berbahasa Madura, orang Toraja
tentu saling berbahasa Toraja....
Toraja, ya, Toraja... Bagaimana kami
nanti berbahasa dengan mereka?
Ibadah telah dimulai. Di
tengah-tengah kerumunan orang Eropa, dengan liturgi Calvinis seperti ini, aku
merasa seperti berada di Rotterdam. Kami sering beribadah Minggu bersama Papa,
Mama dan adik-adikku di gereja dekat rumahku. Ah, aku merindukan mereka....
Kusembunyikan air mataku dari Mevrouw Adriani dan Juffrouw de Han, terutama
dari Anton. Aku tidak ingin ia melihat aku menangis. Alida harus tegar....
harus!!
Khotbah Tuan Adriani sangat
menarik perhatianku, apalagi Anton. Bagaimana tidak, ia berkhotbah tentang misi
pemberitaan Injil pada orang-orang Toraja di pedalaman Celebes. Selain tentang
keadaan alam, bahasa menjadi salah satu tantangan terbesar. Orang di sana tidak
kenal budaya tulis, mereka hanya mengenal budaya tutur. Mereka suka berkumpul
dan mendengar cerita-cerita yang menarik, apalagi kalau tentang dunia. Orang
yang pandai bercerita akan disukai, yang tidak pandai akan ditinggalkan. Karena
itu, seni bercerita merupakan hal yang penting untuk masuk ke tengah-tengah
mereka. Tentunya, dengan memakai bahasa mereka. Lagi-lagi ini soal bahasa!!!
Andai saja manusia tidak mencoba membangun “Menara Babel”, tentu bahasa tidak
menjadi sesuatu yang merepotkan.
Sesekali kulirik Anton, dia
sangat serius mengikuti khotbah Tuan Adriani. Ini tentang kita, sayang. Tentang
apa yang akan kita jalani nantinya, Anton, suamiku...
“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang
terkasih di dalam Tuhan, hari ini kita kedatangan Tuan dan Nyonya van de
Loosdrecht, utusan Gereformeerde
Zendingsbond untuk menginjil di tengah-tengah penganut animisme di Toraja.
Tuhanlah yang mengutus mereka untuk kemuliaanNya. Tuan dan Nyonya van de
Loosdrecht mohon berdiri”. Tuan Adriani memperkenalkan kami sebelum menutup
khotbahnya.
Anton dan aku berdiri bersamaan.
Sejenak kurasakan semua mata terarah kepada kami sampai kami duduk kembali.
Ketika selesai ibadah, banyak yang berdatangan menyalami kami. Kami juga
diperkenalkan dengan para pengurus gereja.
“Nah, Tuan dan Nyonya van de
Loosdrecht, aku dan Mevrouw telah memutuskan jauh-jauh hari sebelum kedatangan
kalian agar kalian diberikan sedikit pengetahuan tentang orang Toraja sebelum
kalian ke sana. Karena itu, sekiranya Tuan dan Mevrouw mau, kalian bisa tinggal
di rumah singgah kami di Sukabumi barang beberapa hari. Kami akan ke sana besok
pagi. Bagaimana Tuan, Mevrouw?”
“Suatu kehormatan buat kami Tuan.
Saya akan sangat senang kalau Tuan sudi membekali kami tentang orang Toraja.
Istriku juga bisa mendapat pengetahuan tentang kebiasaaan perempuan Toraja,
bukan begitu, sayang?”. Anton tersenyum padaku.
“Dengan senang hati, Tuan,
Mevrouw”. Aku menimpali.
“Baiklah. Kita akan berangkat
besok pagi. Untuk hari ini, puas-puaskanlah mengelilingi Batavia ini. Seorang
pengurus gereja akan menemani kalian. Setengah jam lagi dijemput di sekolah”.
Kami berpisah di pekarangan depan
gereja. Aku, Anton dan Juffrouw de Han kembali ke sekolah untuk makan siang
bersama. Juffrouw de Han dengan sabar menjelaskan setiap pertanyaan yang aku
dan Anton ajukan tentang Hindia-Belanda ini.
Kami baru saja selesai makan
siang dan sedang mengobrol di meja makan ketika seorang murid memberitahukan
bahwa seseorang datang mencari misionaris. Kami bertiga menuju ruang depan.
Seorang laki-laki Hindia tersenyum kepada kami. Dia masih muda, mungkin
seumuran denganku. Apakah dia seorang Indo? Bagaimana aku dan Anton menyapanya?
Kami semakin dekat, tetapi aku
dan Anton sama-sama masih bingung apakah akan berjabat tangan atau tidak. Ia
mengulurkan tangannya. Ternyata seorang Indo. Kami lupa kalau Tuan Adriani
sudah mengatakan bahwa kami akan dijemput oleh pengurus gereja. Pengurus gereja
tentu Kristen, dan tentunya Eropa totok atau indo. Bahkan kami sama-sama lupa
kalau ia berpakaian Eropa.
“Robert Jan Dapperste”. Ia
memperkenalkan nama. Jelas, Dapperste adalah nama yang ia dapatkan dari
keluarga Eropa, mungkin karena ia diangkat anak. Entahlah...
Kami menyambut uluran tangannya
dan memperkenalkan nama kami masing-masing.
“Aku dan istriku akan menyerahkan hidup kami sampai petang nanti ke tangan anda, Tuan”. Anton bergurau, sekedar mengakrabkan suasana. Anton tertawa kecil, ia juga. Aku dan Juffrouw de Han tersenyum simpul.
“Aku akan berusaha semampuku,
Tuan, Mevrouw. Yang jelas, Batavia tidak seindah Rotterdam. Oh ya, kereta sudah
siap, mari Tuan, mari Mevrouw, kita keliling Batavia. Satu lagi, panggil saja
aku Sinyo[2]
Robert, Tuan, Mevrouw. Aku belum berkeluarga”. Ia tertawa riang.
Kami berpamitan pada Juffrouw de
Han, lalu naik ke sebuah dogcart[3]
yang sudah menunggu di tepi jalan. Dengan tenaga dua ekor kuda yang gagah, kami
mulai menjelajahi Batavia yang cukup padat, namun lumayan bersih ini. Tempat-tempat
sampah ada di setiap sudut jalan. Jalan-jalan dibuat lebar, persis seperti
jalan-jalan di Rotterdam. Jalanan ramai oleh berbagai kendaraan yang ditarik
oleh kuda atau sapi. Sesekali auto
melintas. Tampaknya hanya para pembesar dan tuan-tuan tanah yang bisa memiliki auto. Dan persewaan auto tentunya. Di pinggir jalan-jalan besar, pohon-pohon besar
berjejer rapi. Kami melintasi sungai Ci Liwung. Sampan-sampan kecil bertebaran
ke sana kemari. Rakit-rakit pengangkut bahan bangunan juga tampak hilir-mudik.
Menurut Robert, bahan-bahan bangunan itu diangkut dari pedalaman.
Bangunan-bangunan bergaya Eropa tampak bertebaran. Gereja, rumah sakit,
kantor-kantor, stasiun kereta. Pemerintah sepertinya hendak memindahkan Eropa
ke sini, hanya bedanya, di sini banyak toko China. Juga banyak Mesjid di
kampung Betawi dan kampung Melayu.
“Berapa usiamu, Sinyo?” Anton bertanya pada
Robert ketika dogcart melintas di
sebuah jembatan kali Ci Liwung.
“Dua puluh satu, Tuan”. Sedikit
lebih muda dari aku, batinku.
“Tuan bekerja di gereja?”
“Ya, sekretaris gereja, Tuan.
Dulu ayah saya, Pendeta Dapperste, bertugas di situ. Tapi ia telah kembali ke
Amsterdam tiga tahun lalu”.
“Ayah yang baik tentunya?”. Aku
memancing.
“Benar, Mevrouw. Ia berjanji akan
datang lagi dan membawaku ke Nederland tahun depan. Ia mengangkat aku jadi
anaknya waktu aku berumur tujuh tahun. Waktu itu ia bertugas sebagai pendeta
yang melayani inlander di kampungku,
Magelang. Ia sangat baik pada semua orang, termasuk pada ayahku yang bekerja
sebagai tukang bersih-bersih gereja. Waktu akan pindah ke Batavia, ia meminta
aku pada ibu dan bapakku. Untuk disekolahkan, katanya, biar jadi orang pintar.
Bapak-ibuku setuju, maka jadilah aku anak angkatnya. Ia memberi aku nama baru,
Robert Jan Dapperste, dan membaptis aku. Ia juga mencatatkan aku pada
pencatatan sipil. Aku sudah lupa nama kecilku dulu apa. Aku juga tidak mau
mencari tahu. Aku senang jadi indo, jadi manusia modern. Suatu saat aku akan ke
Eropa, melihat keajaiban-keajaiban dunia. Bukankah semua keajaiban berasal dari
sana, Tuan, Mevrouw? Mana pernah kami membayangkan besi akan berjalan seperti pada
kereta api, dan lihat, auto yang di
seberang jalan itu, sampai kapanpun inlander
tidak akan pernah bisa membuatnya”.
Aku dan Anton berpandangan. Ia
terus saja bercerita dengan bahasa Belanda yang fasih, ujung-ujungnya memuji
segala yang telah diciptakan orang Eropa. Tuhan, bagaimana kami mengatakan pada
orang ini bahwa semua manusia diciptakan sama di hadapan Tuhan? Telah demikian
parahkah kesenjangan di Hindia ini?
Sebuah bangunan yang megah
berdiri dengan halaman yang sangat luas di sebelah kanan jalan yang kami sedang
lalui. Bangunan termegah yang aku lihat selama di Batavia ini. Bangunan itu
berbentuk segi empat raksasa dengan dua pintu masuk. Tembok-temboknya bercat
putih dan sekeliling dinding dipenuhi dengan jendela-jendela raksasa yang
tertutup kain. Jalan masuk dibangun dengan gaya abad pertengahan: empat tiang
beton besar dan kokoh menyangggah atap yang dibuat menjorok dari bangunan utama,
lengkap dengan patung-patung. Di atasnya tertulis: HARMONIE
“Itu De Harmonie, Tuan, Mevrouw. Bangunan elit untuk orang elit. Tempat Tuan
Gubernur Jenderal menyambut tamu-tamu penting. Di dalamnya ada ruang-ruang
rapat dan tempat bermain bilyar. Aku juga cuma dengar-dengar, belum pernah
masuk ke sana”. Ia tertawa lepas...
“Apakah Tuan Gubernur Jenderal
juga berkantor di situ, Sinyo?”
“Tidak Mevrouw, ia berkantor di Buitenzorg[4],
cukup jauh dari kota Batavia. Maaf Tuan, Mevrouw, sayangnya kita tidak
punya cukup waktu untuk ke sana”.
Kami masih mengunjungi beberapa
tempat, hingga ke Weltevreden. Orang Betawi menyebutnya Gambir. Selebihnya
tidak terlalu menarik bagiku. Kami memasuki pekarangan sekolah ketika petang
baru saja lewat. Kami mengucapkan terima kasih kepada Sinyo Robert sambil
meminta pertolongannya sekali lagi: mem-pos-kan suratku untuk keluargaku dan
surat Anton untuk lembaga misi dan untuk keluarganya.
Besoknya, pagi-pagi kami
berangkat ke Sukabumi setelah berpamitan dengan Juffrouw de Han yang sangat
ramah tersebut. Untuk pertama kali selama di Hindia, aku dan Anton menaiki auto yang disewa oleh Tuan dan Nyonya
Adriani.
*************
Lain Batavia, lain pula tanah
Priangan.
Auto
yang kami
tumpangi perlahan-lahan membawa kami keluar dari hiruk-pikuk Batavia yang panas.
Kami melewati punggung bukit menuju Sukabumi. Walaupun gerimis mulai turun,
kami masih dapat melihat kebun teh yang terhampar luas di bukit-bukit, udara
yang segar, sawah-sawah, sungai mengalirkan air yang jernih. Benar-benar subur
dan indah.
Tuan Adriani duduk di samping
sopir. Aku, Anton dan Mevrouw Adriani duduk di belakang. Pembicaraan kami
ramai. Berbagai hal yang membuat aku penasaran aku tanyakan kepada Tuan dan
Nyonya Adriani. Sesekali Tuan Adriani bercakap-cakap dengan sopir dalam Melayu.
Walau Tuan Adriani bersikap santai, sopir kami yang ternyata orang Sunda selalu
menanggapi dengan sikap hormat yang berlebihan.
“Kebanyakan inlander memang masih susah membedakan antara pejabat pemerintah
atau tuan tanah dengan misionaris. Bagi mereka, semua orang kulit putih sama.
Itu menjadi tantangan bagi misionaris di daerah misi. Jika kita tidak bisa
membuat mereka paham, mereka akan terus menganggap kita seperti ketika
berhadapan dengan controleur atau
pejabat pemerintah lainnya. Sementara
kita, misionaris, harus selalu berada di antara mereka untuk mempelajari bahasa
dan perilaku mereka. Bagaimana Firman Tuhan mau di sampaikan kalau bukan dengan
bahasa dan cara mereka? Pada tahun-tahun awal kedatangan saya di Poso, setiap
perkunjungan pertama ke kepala-kepala kampung, mereka menyangka saya datang
untuk menarik pajak”. Tuan Adriani menjelaskan pada kami.
Aku memandang Anton. Pada saat
bersamaan ia juga memandangku. Kami saling berpandangan beberapa saat. Ini
adalah pelajaran kedua kita dari Tuan Adriani, Anton, suamiku. Tentang orang
Toraja... Yang pertama waktu di gereja kemarin. Dan lagi-lagi tentang bahasa,
dampak dosa “Menara Babel”!!
Ketika sampai di Sukabumi, aku
semakin takjub dengan keindahan dan kesuburan tanah di sini. berbagai tanaman
tumbuh bersama. Rumah sementara Tuan Adriani berada di sebuah lereng bukit.
Dari sini kita bisa melihat petak-petak sawah dari depan rumah. Dari belakang
rumah, gunung-gunung menjulang tinggi. Di tepian sebuah gunung, air mengalir di
antara batu-batu sungai. Tidak terlalu jauh dari rumah, sebuah Mesjid yang agak
kecil berdiri. Petang hari, terdengar suara seperti gendang raksasa di pukul
lima kali.
“Itu bunyi bedug, pertanda jam
sembahyang. Bedug menyerupai gendang, hanya jauh lebih besar. Biasanya terbuat
dari kayu besar yang dilubangi dan ditutup dengan kulit sapi”.
Setiap sore mereka mengadakan
pengajian, kata Mevrouw. Dari sini, kami bisa mendengar suara anak-anak yang
sedang belajar mengaji. Mengaji adalah kegiatan belajar membaca Alqur’an.
Sebagian besar penduduk Jawa memang beragama Islam. Hanya sedikit sekali yang
Kristen. Apalagi orang-orang Priangan, misi bagi mereka hanya akan selalu
memberi sedikit sekali hasil. Menurut Tuan Adriani, kita dapat hidup di
tengah-tengah mereka, tetapi setiap upaya penginjilan akan ditolak.
Setelah membereskan
barang-barang, aku membantu Mevrouw Adriani untuk menyiapkan makan malam. Anton
bercakap-cakap dengan Tuan Adriani di beranda.
“Kamu masih lelah, Mevrouw.
Istirahatlah, atau bergabung dengan suamimu di depan”. Aku semakin merasakan
kehangatan kasih-sayangnya.
“Tidak apa-apa, Mevrouw. Kami
sudah cukup beristirahat selama di Batavia. Lagipula, saya sudah tidak sabar
ingin mendengar banyak tentang kebiasaan perempuan Toraja”.
Dari perbincangan selama di dapur
aku mendapatkan beberapa pengetahuan tentang perempuan Toraja. Dalam urusan
anak, mereka sangat menyayangi anaknya, sama seperti orang Eropa. Mereka juga
ikut suami ke ladang bekerja, bersama anak-anak mereka. Peliharaan mereka yang
utama adalah babi. Hidangan keluarga sangat sederhana: nasi, sayur dan lada
yang diulet. Sekali-sekali ditambah ikan asin. Hanya pada saat pesta saja orang
makan daging. Soal kebersihan, sangat jauh dari standar kebersihan.
Kami makan malam bersama. Baru
kali ini aku dapat makan dengan nikmat setelah turun dari kapal. Selama di
Batavia, mabuk laut masih terbawa. Anton juga makan dengan lahap.
“Apa doa orang Toraja kalau mau
makan, Tuan?”
“Haha, doa dalam masyarakat
Toraja adalah hal yang langka dalam kehidupan sehari-hari. Kita hanya melihat
mereka berdoa ketika ada ritual-ritual suku. Yang punya keahlian untuk berdoa adalah
pemimpin agama suku. Selebihnya, kita tidak akan menjumpai orang yang berdoa
perorangan atau perkeluarga”.
Lain tanah lain budaya, aku
membatin.
“Aku sedang mengumpulkan
bahan-bahan teentang ritual mereka, terutama doa-doa yang diucapkan oleh pemimpin
agama suku. Biasanya, dalam doa-doa merekaa itu kita dapat menangkap apa yang
menjadi inti kepercayaan mereka, bahkan mungkin sejarah mereka. Untuk mengkaji
seperti apa mereka, maka semua hal yang menyangkut ritual harus kita pelajari.
Juga dongeng-dongeng mereka. Banyak misionaris yang meremehkan dongeng-dongeng inlander karena dipenuhi dengan tahayul. Mereka tidak paham bahwa dongeng
menjadi salah satu kunci untuk masuk ke dalam sejarah suku”.
Aku melirik Anton. Ingat-ingat
pesan itu, sayang. Anton sangat serius mendengarkan. Setiap kata dari Tuan
Adriani memang adalah emas bagi misionaris baru seperti kami.
“Orang Toraja, seperti yang sudah
sering aku katakan, tidak kenal budaya tulis. Tapi bukan berarti mereka adalah
orang-orang tanpa sejarah. Kita orang Eropa menuangkan sejarah kita melalui
tangan dalam tulisan-tulisan, mereka melalui suara mereka”.
Kami berpindah ke ruang tamu di
depan ketika kami telah selesai makan.
“Beberapa hari ke depan saya akan
menjelaskan lebih lanjut tentang kehidupan orang Toraja, terutama cara mereka
berkomunikasi sehari-hari. Untuk sekarang, adalah penting bagi kalian untuk
mengetahui tentang Hindia-Belanda secara umum, Tuan, Mevrouw. Yang saya
maksudkan bukan sejarah Hindia-Belanda, karena saya pikir tentu kalian sudah
banyak mengetahuinya selama di Nederland. Bukan begitu Tuan, Mevrouw?”.
Benar. Di Nederland, adalah wajib
bagi para pelajar untuk belajar sejarah Hindia-Belanda. Tentang VOC yang
berkuasa dan membentuk pemerintahan-dagang di sini sejak Pieter Both diangkat
sebagai Gubernur-Jenderal tahun 1610. Kekuasaan VOC di Hindia-Belanda bertahan
hingga tahun 1799. Kerajaan Belanda yang sedang berada di bawah kekuasaan
Napoleon Bonaparte, sang penakluk dari Prancis mengambil alih. Lalu Hindia-Belanda
jatuh ke tangan Inggris tahun 1810. Praktis Inggris menguasai Hindia-Belanda
selama hampir 16 tahun, dengan tiga kali pergantian Lieutenant-Governor[5],
salah satunya Sir Thomas Stamford
Raffles yang termasyur itu. Tetapi setelah melalui diplomasi,
pemerintahan Yang Mulia Ratu mengambil alih Hindia-Belanda tahun 1816 dan
mengangkat G.A.G.Ph. van der Capellen sebagai Gubernur-Jenderal. Sejak itu,
pemerintahan Yang Mulia Ratu di Nederland berdaulat penuh atas Hindia-Belanda,
hingga sekarang. Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg yang sekarang berkuasa
adalah Gubernur-Jenderal yang ke 24 sejak Nederland berkuasa langsung atas
Hindia-Belanda. Tetapi, jika dihitung sejak VOC, Nederland-Prancis, Inggris,
dan Nederland, Gubernur-Jenderal Idenburg adalah penguasa Hindia-Belanda yang ke
64. Ia menggantikan Johannes Benedictus van Heutz. Di sini, semua orang
memanggil Gubernur-Jenderal sebagai “Yang Mulia”.
“Situasi Hindia-Belanda telah banyak
berubah. Terutama di Jawa ini. Gubernur Jenderal sebelumnya, Yang Mulia van
Heutz menghadapi banyak perlawanan bersenjata, tetapi ia berhasil mengokohkan
kekuasaannya. Sekarang ini, Yang Mulia Idenburgh menghadapi perlawanan yang
lebih halus, namun lebih berbahaya. Politik Etis, yang memungkinkan orang
Hindia mendapat pendidikan modern, lama-lama bisa menjadi senjata makan tuan
bagi pemerintah kita”.
Tuan Adriani tampak semakin
serius, boleh dikatakan tegang. Aku masih menyimak kemana arah pembicaraan ini.
“Nippon telah semakin berani
menantang Eropa dengan mengangkat diri sebagai pemimpin Asia. Tiongkok juga
telah bangkit dan bersatu menjadi republik yang besar. Amerika Serikat yang
semakin kuat bukan tidak mungkin akan melebarkan sayapnya ke seluruh dunia”.
Tuan Adriani menghela nafas. Aku
mulai meraba-raba, Hindia-Belanda mendapat tantangan dari luar dan dari dalam.
Aku teringat pada laki-laki Arab yang kurang sopan di Port Said tempo hari.
“Beberapa hari lalu, Yang Mulia
Idenburgh mengadakan rapat besar. Aku juga diundang, bersama beberapa wakil
pemerintah dari Celebes. Bagaimanapun, Celebes sangat diperhitungkan untuk
mengantisipasi ancaman dari ‘atas’. Untuk perairan Malaka, pemerintah tidak
terlalu kuatir, Inggris masih berkuasa penuh di Singapura sampai ke India.
Sepertinya, masalah terbesar muncul dari dalam, khususnya di tanah Jawa ini”.
Tuan Adriani meneguk teh hangat
yang disajikan oleh Mevrouw Adriani, lalu melanjutkan penjelasannya panjang
lebar. Aku mencoba menarik benang merah dari setiap penjelasannya. Perkembangan
dunia telah turut mengubah wajah Hindia. Orang-orang Tionghoa telah mengorganisasikan
diri. Dengan cepat organisasi di kalangan inlander
juga bermunculan. Para ningrat Jawa telah membentuk Boedi Oetomo,
organisasi yang khusus untuk orang-orang Jawa. Sebelumnya, Sarekat Dagang Islam
juga terbentuk. SDI berubah nama menjadi Syarikat Islam dan berhasil menghimpun
pengikut yang banyak sekali dalam beberapa tahun. Awalnya, organisasi ini
dibentuk untuk mengorganisasikan para pedagang Islam karena ketatnya persaingan
dengan pedagang Tionghoa yang telah lebih dulu membentuk organisasi mereka.
Tetapi, dalam perjalanannya, Syarikat Islam tumbuh menjadi kekuatan politik
yang cukup kuat menantang pemerintah. Mereka berhasil menerbitkan harian
“Medan” koran pertama di Hindia-Belanda yang berbahasa Melayu! Ini tidak pernah
terjadi sebelumnya. Sebelumnya, semua koran di sini berbahasa Belanda dan
China. Dengan menggunakan Islam sebagai alat propaganda, mereka dapat menarik
pengikut dari semua kalangan inlander. Harian
berbahasa Melayu dapat dibaca oleh sebagian besar masyarakat. Tidak jarang,
mereka memuat kritik terhadap orang-orang Nederland, terutama pemilik-pemilik
perkebunan dan pabrik gula. Bahkan mereka juga tidak segan-segan mengkritik
pemerintah.