Sebuah refleksi
Waktu saya kecil, saya tinggal di sebuah dusun. Menjelang Desember adalah masa-masa dimana kami bersiap-siap untuk mencari sekutu untuk membentuk sebuah tim. Ya, perangbarattung sudah dekat. Untuk membuat sebuah barattung, tidak mungkin kami bekerja sendiri: menebang bambu, memotong-motong, melubangi, menyiapkan berbagai keperluan. Sekutu-sekutu segera tercipta, yang juga akan disusul dengan pertengkaran-pertengkaran a la anak kecil dan bisa berujung pada pecah kongsi. Tetapi begitulah, kami mengorganisir diri untuk sebuah ‘perang’, perang barattung. Para orang-tua selalu terlibat: memberikan recehan untuk beli minyak tanah, atau mesti rela [walaupun dengan sedikit omelan] ketika anak-anak ‘mencuri’ persediaan minyak tanah dari dapur.
Saya meninggalkan kampung untuk beberapa keperluan, terutama untuk sekolah. Hampir setiap Natal saya pulang, dan saya mengamati bahwa perayaan semakin lama semakin berubah. Perang barattung semakin terkikis, diganti perang baru yang lebih ‘modern’: perang petasan dan kembang api. Ini memang lebih ramai dan menakjubkan: langit menjadi berwarna-warni, untuk yang ukuran besar ledakkannya sangat keras. Dan yang paling utama, sangat mudah didapatkan. Tidak perlu membentuk tim seperti pada masa perang barattung, cukup dengan uang di kantong yang ditukar dengan petasan dan kembang api di penjual-penjual yang semakin menjamur menjelang dan pada masa Desember. Beli, ledakkan, beli lagi, ledakkan lagi, beli lagi, ledakkan lagi... Ah, mudah sekali. Dan saya mulanya takjub, betapa indahnya. Lama kelamaan rasa takjub saya berubah menjadi keresahan, dan untuk itulah saya menulis tulisan singkat ini.
Ada beberapa perubahan yang saya rasakan.
Pertama, semaraknya kembang api dan petasan membuat orang larut dalam kegembiraan yang semakin menjelma menjadi sebuah histeria. Akibatnya, kesederhanaan Natal yang inheren di dalam peristiwa kelahiran Yesus semakin terkubur. Dengan jelas kita dapat membaca situasi Natal perdana: penderitaan Yusuf dan Maria ketika Maria sudah pecah ketuban sementara penginapan tak kunjung ditemukan. Lalu siapa yang pertama-tama merasakan hikmat Natal itu? Tidak lain dan tak bukan adalah orang-orang ‘pinggiran’ dan orang asing: para gembala dan orang asing [peziarah Majus].
Kedua, semua menjadi serba instan. Pada masa perang barattung, anak-anak kecil sudah harus membiasakan diri untuk bekerja-sama, belajar bagaimana menjalankan sebuah tim yang tidak hanya mengandalkan kekuatan uang. Demikian juga dalam membuat pohon Natal, orang-orang harus bekerja-sama dengan memanfaatkan bahan-bahan ‘mentah’ yang ada untuk diracik menjadi sebuah pohon Natal. Orang tidak bergantung pada ‘pasar’ yang menyediakan pohon Natal yang instan yang cukup ditukar dengan uang. Semua yang serba mudah dan serba instan memang telah menjadi salah satu ‘keunggulan’ masyarakat modern, yang tanpa sadar menggerus mentalitas manusianya.
Keresahan ini bukan-lah sebuah sindrom romantisme masa lalu. Bagaimanapun, perangbarattung kalaupun masih bisa dilakukan sekarang oleh anak-anak sudah akan berbeda dengan pada masa lalu. Minyak tanah semakin langka akibat mudahnya mendapatkan gas 3 kg. Pohon bambu semakin tinggi nilai ekonomisnya karena semakin seringnya ritualrambu solo’ secara besar-besaran yang menghabiskan banyak batang bambu. Keresahan dalam tulisan ini terutama sekali lahir dari hingar-bingarnya suasana Natal itu sendiri, dengan tanda kembang api dan petasan yang paling menonjol. Kepekaan sosial semakin luntur. Saya beberapa kali melihat maupun mendengar petasan atau kembang api yang dahsyat di Toraja, berharga ratusan ribu, bahkan [konon] ada yang sampai jutaan! Bukankah sebagian besar para pekerja kasar mesti menghabiskan waktunya selama sebulan demi mendapatkan gaji yang setara dengan harga kembang api seperti itu? Mengapa orang-orang tidak segan untuk membakarnya dalam sekejap saja di tengah ramainya tuntutan untuk menaikkan upah minimum regional (UMR)? Demi memenuhi hasrat berlabel sukacita Natal? Ataukah sebuah histeria akibat tidak ada lagi waktu untuk merenungkan kembali Natal perdana yang dirayakan setiap tahun itu?
Malam Kudus Sunyi Senyap itu sesungguhnya sudah tidak ada di Toraja, selain dalam kidung indah yang dinyanyikan. Lalu bagaimana? Mungkin saja, kita bisa menggunakan salah satu persembahan orang Majus: kemenyan. Mungkin kita bisa mencoba tradisi membakar ‘kemenyan’ yang lebih menimbulkan suasana sunyi-senyap nan sakral-sederhana itu, untuk menggantikan hingar-bingar aktivitas membakar petasan dan kembang-api. Atau ritual apa saja yang bisa membuat orang benar-benar mendekatkan diri pada sang Ilahi, sekaligus tidak melunturkan kepekaan sosial kita. Sebagai perbandingan, sewaktu mendaki ke Gunung Merapi, saya pernah secara tidak sengaja ‘terjebak’ dalam sebuah perayaan 1 Syuro di sebuah desa di kaki Merapi. Ketika kami melintasi kampung, tepat tengah malam [sekitar pukul 24.00], kami dihentikan oleh warga yang berjaga karena ada ritual yang sedang berlangsung. Seluruh lampu dipadamkan, tidak diperbolehkan menimbulkan kegaduhan. Kemenyan dibakar dimana-mana, asapnya yang berpadu dengan kesunyian menimbulkan aroma yang benar-benar membuat suasana menjadi sakral. Iringan gamelan yang sayup-sayuo terdengar memaksa siapapun, termasuk kami yang bukan warga kampung untuk merenung.
Sepertinya memang kita perlu mengevaluasi kembali cara kita merayakan Natal.
Selamat Natal. Gloria in Excelcis Deo....
0 komentar:
Posting Komentar