Orang-orang mati serempak, bagaikan biang (sejenis gelagah) yang rebah ditiup angin kencang.
Pada bulan November 1918, terjadi peristiwa wabah yang menggemparkan. Di Toraja, banyak sekali orang yang mati karenanya dan berlangsung hampir setiap hari. Misionaris D.C. Prins yang bertugas di Makale pada saat itu menggambarkan wabah yang sangat mengerikan tersebut menelan korban sekitar 20% penduduk di Ma’kale dan korban yang lebih banyak lagi di Rantepao. Keterangan dari misionaris Belksma yang bertugas di Rantepao menyebutkan bahwa perkiraan jumlah orang yang meninggal pada saat itu mencapai 10.000 orang: 4.000 orang di Ma’kale dan 6.000 orang di Rantepao. Karena banyaknya orang yang mati, orang Toraja menyebutnya sebagai era ra’ba biang: orang-orang yang mati bagaikan biang (sejenis gelagah) yang rebah (ra’ba) serempak ditiup angin kencang.
Nyaris tidak ada ritual besar yang diadakan saat itu. Cerita-cerita yang beredar di Toraja sampai sekarang mengatakan bahwa banyak orang mati yang ‘dimasukkan begitu saja’ ke dalam lo’ko’ (kuburan keluarga dari batu besar/tebing yang dilubangi atau kuburan pada gua-gua alami). ‘Dimasukkan begitu saja’ bermakna dikubur seketika tanpa melalui ritual-ritual yang kompleks sebagaimana biasanya, juga tanpa harus memotong kerbau.
Ne' Tato' Dena menuturkan:
Ketika peristiwa ra’ba biang, dalam setiap KK (maksudnya Kepala Keluarga), mintu’ pa’dukkuan api (semua rumah tangga), pasti ada yang mati, bahkan ada yang meninggal semua dalam keluarga. Peristiwa itu terjadi sekitar 1918. Musibah, semua mati serempak. Orang-orang yang pulang menguburkan, banyak yang dikuburkan keesokan harinya karena meninggal tidak lama setelah pulang menguburkan anggota keluarganya. Pada saat itulah dirembangan palungan, digente’ (disebut sebagai) ra’ba biang.
Dirembangan palungan artinya tempat makanan babi dipukul berkali-kali sebagai pertanda bahwa setiap orang yang mati sudah dapat dikuburkan. Tindakan simbolik ini dianggap sudah menggantikan kewajiban memotong babi dan kerbau, mengingat situasi pada saat itu yang tidak memungkinkan. Cukup dimandikan, setelah itu dirembangan palungan, lalu jenazah dibawa ke kubur oleh keluarga tanpa harus memanggil para pemimpin agama.
Ketika musibah itu terjadi, banyak desas-desus yang beredar di masyarakat mengenai penyebab wabah tersebut. Ada yang mengatakan bahwa ini diakibatkan karena banyak orang tidak lagi mengikuti Aluk (ajaran/keprcayaan/ritual) yang diturunkan oleh leluhur karena masuknya Aluk Balanda (agama Kristen dan adat orang Belanda), ada juga yang beranggapan ini diakibatkan oleh pembunuhan A.A. van de Loosdrecht (misionaris Protestan) setahun sebelumnya, dan berbagai anggapan lainnya.
Ternyata wabah ini merajalela di seluruh dunia, yang terkenal dengan sebutan 'flu Spanyol'. Wabah tersebut termasuk salah satu wabah paling mematikan yang pernah dialami dunia. Bayangkan saja, diperkirakan 50 juta orang meninggal pada saat itu. Selengkapnya bisa dibaca di Flu Spanyol, Lebih Mematikan dari Perang Dunia
Kenangan tentang era ra'ba biang ini masih terpelihara dalam tradisi lisan orang Toraja, dimana kisah tersebut dituturkan terus menerus. Mungkin saja, ini disebabkan karena begitu kuatnya tradisi yang menyangkut kematian dan pemakaman di Toraja.
halaman:   1   2